25 | Sembunyi, Leah

31 10 0
                                    

Kepala yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, adalah pemandangan pertama yang ia lihat di pagi buta. Sepasang mata berkantung hitam menatapnya balik, sendu, kosong, mati. Iris mata cokelat gelap itu memelototinya. 

Gadis itu bergeming di atas kasurnya. Matanya mengarah pada pistol yang tergeletak di bawah tangan yang terkulai di atas ubin. Gadis itu menyibak selimutnya, turun dari kasur, dan menjatuhkan selimutnya ke sekujur tubuh pria yang tergeletak di atas lantai. Darah merembes ke selimut putihnya yang bermotif bunga-bunga aster.

Gadis itu terseok-seok keluar dari pintu kamar yang terbuka. Kepalanya pening, dengung di telinganya mewujud dalam bentuk gelenyar yang memusingkan. Tapi gadis itu terus berjalan. Menelusuri koridor, tangannya meraba dinding yang bertekstur. Jarinya merasakan sesuatu, tapi mengapa semuanya terasa palsu. Ia lantas menuruni tangga, melewati dapur, meja makan, ruang tengah, ruang tamu, lalu berdiri di depan pintu. Tangannya meraih gagang pintu. Pintu itu tidak terkunci.

Ketika ia keluar hawa dingin dini hari memeluknya yang masih dalam balutan piama. Kaki telanjangnya memijak tehel teras yang beku. Mobil sedan hitam terparkir di teras, ia berjalan memutari mobil itu, hingga tiba di depan pagar. Tangannya membuka segel pagar yang berderit tiap kali segel itu diayunkan.

Krit, krit, krit...

Pintu pagar berayun terbuka. Ia berjalan keluar, ke sebuah rumah megah yang berada tepat di samping rumahnya. Ia memencet bel yang lebih tinggi beberapa inci dari kepalanya. Ia membunyikan bel itu. 

Terus, terus, terus. 

Hingga seorang wanita berjilbab panjang berwarna ungu tua keluar dengan wajah marah bersama suaminya yang berpeci dan bersarung di belakangnya. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka baru selesai beribadah.

Air muka kedua orang itu, yang mengeras, tiba-tiba melunak. Ketika melihat si gadis bertelanjang kaki berdiri di hadapan mereka.

"Leah? Ya Allah, Nak!" Si wanita menarik Leah masuk melewati gerbang, mengusap bahu mungil gadis itu. "Ada apa ke sini subuh-subuh?"

"Ajak masuk ke rumah dulu, Bu. Bapak ke dalam duluan, suruh Bi Ati siapkan minum buat Leah." Si pria menepuk bahu istrinya, melirik Leah sekilas sebelum beranjak masuk. Namun sang istri menahannya.

Wanita itu berbisik penuh peringatan, "coba telepon Pak Luth. Mungkin Leah ditinggal sendirian lagi di rumah, makanya dia ke sini. Sampaikan ke Pak Luth supaya cepat pulang. Badan Leah panas sekali, Pak. Sambil tunggu Pak Luth, biar Leah tidur di rumah kita dulu."

Si pria tambun terhenyak ketika mendengar bahwa tubuh Leah panas. Mata sayu si pria mengarah pada gadis yang pucat dan tampak begitu lemah. Rasa iba dan sayang menggelegak begitu saja dari relung hatinya, sebuah rasa kemanusiaan. Gadis bertubuh kecil itu ditinggal sendirian tanpa pengawasan orang tua adalah hal yang sangat mengiris hati. 

Pasangan suami-istri itu sudah dua belas tahun bertetangga dengan keluarga Labourn. Pak Danu dan istrinya, Bu Lina, selalu menjadi tempat pelarian Leah tiap kali gadis itu sendirian di rumah semenjak kepergian sang ibu. Meskipun begitu, gadis itu selalu tampak jauh di mata mereka. Leah hanya datang untuk kemudian pergi. Begitu berbayang dan tak tersentuh.

"Leah," panggilnya, menghampiri si gadis. Menyentuh tangan mungil gadis itu. Sejenak Pak Danu terkesiap, panas di tangan Leah berada di tahap yang mengkhawatirkan. Rasanya seperti terbakar. "Masuk, yuk, Nak."

"Sepertinya harus dibawa ke rumah sakit, Pak." Bu Lina mendekati suaminya, alisnya bertaut cemas.

Namun Leah menggeleng, menolak saran tersebut, tangannya menunjuk ke gerbang.

"Ayah," katanya. Suaranya sekecil dan serapuh tubuhnya, "Ayah bunuh diri."

*

529 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang