22| Menyingkap Kerai

38 11 0
                                    

Aaris sedang berhenti di tepi jalan. Mesin motornya dimatikan.  Ia berhenti untuk mengecek Google Map di layar ponselnya. Dahinya berkerut-kerut melihat jalur jalan yang harus ia lewati. Ia benci peta, lebih benci lagi membaca peta. Memusingkan. 

Aaris menggaruk kepalanya, frustrasi tapi enggan menyerah. Ia memutuskan untuk terus membaca dan memahami rutenya sampai ia paham. Hari sudah beranjak petang. Matahari sudah mengantuk di langit bagian barat. Aaris harus tiba di rumah Leah sebelum maghrib. Ia tidak mau datang ke rumah seorang gadis malam-malam. Ia takut wali asuh—atau siapa pun itu yang menjaga Leah menganggapnya buruk, meskipun ia ke sana jelas atas suruhan pihak sekolah.

Sejak jam istirahat hingga pulang sekolah, Leah tidak ada di kelas. Menghilang begitu saja meninggalkan ransel dan barang-barangnya di kelas. Bukan kejadian yang jarang terjadi. Tapi biasanya seseorang akan kembali ke sekolah untuk mengambilkan ransel Leah, begitu kata wali kelas. Tapi hari ini tidak ada satu pun yang datang.

Aaris mendesah pasrah. Padahal ia sudah menyiapkan barang-barang keperluan praktikum dan beberapa makanan manis untuk ia beri pada Leah. Agar gadis itu tidak bosan dan mau bertahan hingga praktikum selesai. Namun semua itu percuma. Leah tidak juga muncul hingga sekolah bubar dan sepi.

Wali kelas mereka, Pak Trisno, memanggil Aaris ke ruang guru. Menugaskan Aaris untuk mengantarkan barang-barang Leah dan menyuruh Aaris meminta alamat rumah Leah ke pihak TU, karena Pak Trisno berhalangan. Anak bungsunya sedang dirawat di rumah sakit karena tifus katanya. Aaris sama sekali tidak keberatan. Mungkin ia bisa melakukan praktikum itu di rumah Leah, jika Leah mau. Semakin cepat ia mengumpulkan laporannya semakin baik.

Sekarang Aaris separuh jalan menuju rumah Leah.

Aaris menunduk menatap ransel berwarna min milik Leah yang digantung di motor. Hijau pucat. Leah dan warna hijau itu terlihat serasi.

Aaris memandang lalu lintas di sekelilingnya. Seharusnya—sesuai yang tertera di peta—beberapa ratus meter lagi ia akan tiba di komplek perumahan tempat rumah Leah berada. Aaris tidak begitu mengenali daerah tempat Leah tinggal. Ia hanya tahu bahwa ada pasar antik terkenal di sekitar sini. Kemudian mata Aaris memicing ketika menyadari ada sesuatu yang ganjil. Ada kerumunan orang yang sedang mengelilingi sesuatu.

Aaris tidak peduli. Tapi firasatnya mengatakan ia harus ke sana. Kenapa?

Tanpa berpikir dua kali ia menuruti kata hatinya. Mengambil ransel Leah dan mengunci motor. Lalu berlari menyeberangi jalan dan menghampiri kerumunan. Matanya melebar ketika ia melihat objek apa yang diamati kerumunan itu.

"Permisi, permisi! Permisi, Pak. Permisi, Mbak, Mas. Biar saya lewat. Itu teman saya. Iya, lihat kan? Seragamnya sama. Saya kenal dia, saya teman sekelasnya. Saya tahu rumahnya. Biar saya yang urus." Setelah berhasil membelah dan melewati lautan kerumunan, Aaris kini berdiri di hadapan kerumunan. Tersenyum sopan, membubarkan kerumunan yang mayoritas terdiri dari orang tua yang penasaran dan prihatin itu. Sebagian besar menurut, bubar. Tapi ada beberapa yang bandel.

"Kenapa itu, teh, Mas?" Seorang wanita paruh baya dengan keranjang kue bertanya dengan alis berkerut, mulut cemberut.

"Kesurupan kayaknya mah, Bu. Anak tetangga saya ada yang pernah begini. Sama ini. Begini, persis! Terus didatengin ustad yang suka ceramah di musala desa. Beres urusan," sahut pria tua yang peci putihnya miring.

Aaris tersenyum. "Saya yakin bukan itu. Mungkin cuma kecapekan. Banyak tugas di sekolah."

"Ih! Sekolahnya teh kejam pisan! Sekolah di mana, Mas?"

"SMA 1, Bu. Tuh, eta, liat seragamnya."

"Sembarangan sekolahnya. Ya sudah atuh, Mas. Diurus temennya."

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang