18 | Mengejar Sang Maut

37 13 0
                                    

Tring... tring... tring... 

Bel angin itu menyanyikan lagu kematian. Senandung maut yang berdenting seiring gerak angin yang mengayun-ayunkan pintu pondok yang terbuka lebar. Mengundang siapa pun yang tak diundang. Leah memanggil-manggil nama Nini. Tapi wanita tua itu hanya diam dan balas memelototinya dengan hampa. Leah menangis sampai lemas, ia kini sepenuhnya bertumpu pada Luu. Berdua, mereka bersandar pada satu sama lain di tengah ruangan. Di atas karpet bundar kesukaan Nini yang bermotif etnik.

Setiap benda yang ada di kamar adalah sentuhan khas Nini. Mulai dari cermin bingkai rotan di atas meja rias, vas-vas bunga dari tanah liat di nakas panjang, hingga kursi goyang rotan yang diduduki mayat Nini. Semuanya menguarkan aroma herbal, balsem, dan lavender. Udara yang terlalu menyesakkan untuk dihirup, atmosfer yang terlalu mencekik untuk ditinggali.

"Seseorang telah membunuh Nini." Suara Luu tercekat dan tersendat-sendat, berusaha melawan dirinya yang lemah dan tidak tegar. Luu mengungkapkan sesuatu yang sedari tadi tak berani Leah suarakan.

"Aku tahu siapa orangnya. Tapi, pertama-tama kita harus keluar dari sini," lirih Leah, mendongak pada Luu. Mereka bertatapan selama beberapa saat.

Kemudian Luu mengangguk.

"Nini harus—"

"Berbalik. Biar aku yang urus."

"Aku, aku saja. Aku juga harus mendampinginya. Mengantarnya. Itu cuma Nini, Nini yang baik dan cantik. Aku bisa mengatasinya. Aku ingin mendoakannya, mengantarnya pergi."

"Kau bisa mendoakannya dari jauh. Kau akan terluka dan tak sadarkan diri." Luu menukas. "Aku saja."

"Aku bisa."

"Tidak."

"Luu..."

"Aku yang urus, Leah. Berbalik sekarang."

Leah menggigit bibirnya yang bergetar. Menyerah. Ia memejamkan mata dan memutar tubuh. Menekuk dan memeluk lututnya. Dalam gelap ia bisa melihat Luu melangkah menuju kursi goyang Nini. Meraih syal Nini yang terjatuh di lantai, yang mungkin digunakan si pembunuh untuk mencekik Nini. Meraih botol obat yang terjatuh dan pil-pil obat yang berserakan, yang mungkin digunakan untuk meracun Nini. Luu menutup kelopak mata Nini yang terbuka. Menyelimuti kepala Nini dengan syal chiffon berwarna ungu kusam milik wanita itu.

Leah kemudian teringat sesuatu. "Sidik jarimu, Luu. Jangan sentuh apa-apa. Semua benda adalah barang bukti," tegasnya tanpa menoleh ke balik punggung.

"Aku tahu. Tidak masalah." Luu meraih bahu Leah, menggiring gadis itu keluar kamar dan perlahan menutup pintu kamar di belakangnya. Luu membawa Leah ke meja makan dan mendudukkannya di salah satu kursi di bawah meja.

"Akan kubuatkan teh," katanya.

"Aku tahu siapa pembunuhnya," kata Leah, tenang dan datar. Hampir tidak ada emosi di wajahnya. Luu berbalik dengan amat tiba-tiba. Ia sedang berdiri di depan lemari penyimpanan, memilih stoples-stoples teh. 

"Katakan padaku," ujar Luu setelah mengendalikan diri. Ia memilih memunggungi Leah, menyibukkan diri dengan dua stoples di tangannya, yang satu berisi daun dan bunga kering, yang satu berisi daun dan buah kering. Ia memutuskan mengambil stoples teh dengan pita berwarna ungu motif kotak-kotak yang isinya daun min dan buah ceri kering.

"Keluarga Halim pembunuhnya."

Luu hampir menjatuhkan stoples di tangannya. Ia membalas dengan terburu-buru dan marah.

"Mereka hanya mimpi, Le. Berhenti berdelusi. Semua hanya khayalanmu. Keluarga itu tidak ada. Nini meninggal bukan karena mereka. Tidak mungkin manusia imajiner bisa membunuh Nini."

"Mereka bukan manusia imajiner. Mereka ada. Mereka tinggal di suatu tempat di kota. Kemarin aku bermimpi, aku yakin mimpi itu muncul untuk memperingatiku. Keluarga mereka bangkrut. Mereka butuh uang untuk melunasi hutang. Nini punya banyak harta. Dengan membunuh Nini mereka akan dapat warisan."

"Tapi kau bilang mereka hanya mimpi."

"Mereka memang hanya mimpi. Tapi mereka ada."

Lidah Luu kelu. Leah di hadapannya tampak jauh berbeda dari Leah yang ia kenal. Lebih semu dan kelabu. Luu tidak tahu apa ia harus percaya pada Leah atau tidak. Luu kini meragukan kewarasan Leah.

"Mereka muncul dalam mimpiku karena selama ini mereka adalah ketakutan terbesarku. Aku takut setelah Ayah dan Ibu meninggal, dengan siapa aku akan tinggal? Setelah Nini meninggal, dengan siapa aku akan tinggal? Keluarga Halim itu ada. Bibi Shafia itu adik ayahku."

"Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu.

"KARENA KAU SUDAH MATI!!"

*

611 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang