Harum mentega dan bunga mengawang di langit-langit dapur. Nini sedang memanggang kukis mentega yang dilapisi krim bunga hibiskus berwarna merah violet yang manis dan segar. Di dalam kamarnya, Leah sedang berbaring di atas ranjang dan menatap langit-langit. Luu di sampingnya sedang berbaring telungkup, mengagumi selimut kain perca buatan Nini dengan beragam motif dan warna yang kesemuanya memiliki tone warna pastel.
Leah sedang mereka ulang mimpinya tadi malam. Mimpi absurd yang penuh warna, terasa membingungkan sekaligus masuk akal. Kulitnya berubah biru dan bersisik, ia tidak ingat apakah ia Avatar atau Mystique dalam film X-Men.
Ia hanya mengingat bahwa seharusnya ia pandai memanjat, tapi saat dunia jungkir balik dan segalanya berantakan, lalu Leah dikejar-kejar sesuatu yang mengerikan dan mencoba memanjat sebuah tangga besi yang mengarah pada antah berantah, gadis itu memanjat dan melompat dalam gerakan luar biasa lambat.
Saat itu juga Leah berpikir, apa jangan-jangan di luar alam bawah sadarnya, tubuhnya di atas kasur juga sedang mencoba berlari dan memanjat kekosongan?
Di sisi lain, Luu sedang mengamati isi kamar baru Leah. Kamar yang dinding-dindingnya dipenuhi rak buku gantung, lukisan bunga krisan, dan lembaran-lembaran kertas novel yang dirobek dan disatukan secara acak di dinding dengan menggunakan perekat. Di samping ranjang terdapat jendela geser yang kusennya berwarna cokelat muda, mengarahkan pemandangan pada pekarangan.
Jendela itu ditutup dengan kerai kanvas yang berwarna krim lembut. Ada bermacam-macam pot tanaman di kamar Leah, mulai dari pot devil's ivy yang digantung di dekat jendela hingga rumput payung yang diletakkan di samping rak buku besar di salah satu sisi dinding kamar.
Luu bangkit dan mengambil tempat duduk di dekat jendela, memainkan bandul kristal berbentuk tetesan-tetesan air yang digantung di tempat cahaya masuk. Suncatcher itu menangkap cahaya dan menyebarkannya dalam bentuk bercak pelangi yang cantik. Di pekarangan, bunga peony, krisan, dan ester yang mekar tampak timbul-tenggelam di antara semak dan belukar yang belum dipangkas.
"Jadi, Le, bagaimana temanmu itu?"
Leah teralihkan dari lamunannya. Teman? "Dia bukan temanku."
"Katamu dia sekelas denganmu. Berarti dia temanmu."
Leah berpikir sejenak. "Aku bahkan tidak tahu namanya."
"Wah," Luu nyengir lebar, terkekeh kecil, "keterlaluan, Le. Kalau aku jadi dia, aku bakal sakit hati. Nanti hari Senin, pastikan kau sudah tahu namanya."
Leah mencebik. "Dia pasti sudah menjauhiku saat itu tiba. Aku dengan bodohnya bilang padanya kalau aku punya kau. Lalu aku menyanggah pernyataanku sendiri dan bilang kalau aku tidak punya kakak kembar. Dia pasti mengira aku orang aneh yang suka berbohong."
Luu terbahak. "Bisa-bisanya kau keceplosan. Kita kan sudah janji untuk tidak beri tahu siapa-siapa kalau kita anak kembar! Tapi, kalau ternyata dia masih mau berteman denganmu Senin nanti, kau harus tahu namanya, ya, Le?"
Demi iris mata yang penuh binar harap itu, Leah bergumam tak acuh, "akan kucoba."
"Bagus." Luu tersenyum puas. "Nah, kau tahu tidak, Le? Kemarin urusan apa yang kukerjakan sepulang sekolah?"
"Tidak tahu. Tidak mau tahu." Rupanya Leah masih merajuk soal kemarin.
"Yah, padahal aku punya kejutan untukmu," ujar Luu seraya berkedip menggoda. Sudut bibir Leah mau tak mau tertarik. "Kejutannya aku simpan di kebun di seberang pondok."
Leah terlonjak bangun, matanya berkilau. "Sungguhan?"
"Mana pernah aku bohong," cibir Luu.
Sebelum Leah sempat memberondongi Luu dengan pertanyaan, pintu kamarnya yang tertutup diketuk. Itu pasti Nini. Leah buru-buru turun dari kasur dan membukakan pintu, menyambut Nini yang tersenyum bingung.
"Kenapa kau terlihat... bergairah begitu?" tanya Nini. Leah melirik piring keramik beralas renda yang dipegang Nini, harum manis menyusup masuk lewat rongga hidungnya.
"Luu bilang, dia punya kejutan untukku." Leah menggigit bibir menahan histeris.
"Luu bilang begitu?" Entah kenapa senyum Nini terlihat sedih, Leah tidak mengerti. "Nini juga punya hadiah untuk kalian. Ini kukis untuk camilan sore sebelum makan malam. Coba bermain di luar dan sering-sering berjemur di bawah matahari. Kulitmu pucat sekali."
Nini mengelus pipi Leah, gadis itu mengecup telapak tangan Nini dan tersenyum ringan. Mata sayunya membuat senyum itu tampak sendu. "Aku baik-baik saja, Nini," katanya.
"Nini tahu," sahutnya, menyerahkan piring yang dipegangnya pada Leah.
"Aku dan Luu akan bantu masak makan malam."
Nini menggeleng keras. "Memasak makan malam adalah tugas penting. Itu menyangkut kesejahteraan perut semua orang. Nini tidak mau diganggu."
"Serius, deh. Nini mau aku banyak bergerak tapi aku tidak pernah diperbolehkan bantu apa-apa." Dahi Leah berkerut, bibirnya cemberut.
"Itu karena kau selalu mengacau. Habiskan kukisnya. Lalu kembalikan piringnya ke dapur," seru Nini sambil berbalik pergi. Leah menutup pintu, menghadap Luu yang duduk bersila. Lelaki itu sedang melempar-tangkap sebutir apel merah yang sudah digigit sambil tersenyum jahil ke arahnya.
"Luu," tegur Leah, memutar bola mata, "kau tadi mengendap keluar lewat jendela? Jangan begitu. Bagaimana kalau Nini lihat?"
"Nini terlalu tidak peduli untuk menyadari keberadaanku, bahkan aku tidak perlu mengendap-endap untuk kabur lewat jendela tadi." Luu menggigit apelnya, yang ia petik dari pohon di dekat jendela kamar Leah.
Leah duduk di tepi ranjang, menaruh piring di atas selimut. "Jangan berkata begitu. Nini peduli padamu. Tadi dia terlalu fokus mengobrol denganku. Kau hanya terlalu mengingatkannya pada Ayah. Aku juga merasa begitu, kau lebih mirip Ayah daripada aku. Mungkin sebenarnya kau kembaran Ayah."
Luu mau tak mau tertawa. "Jangan menghiburku. Kau tahu aku tidak bisa dihibur. Lagi pula itu tidak perlu, karena aku tidak sakit hati."
Leah merasakan keganjilan pada suara Luu. Ia beringsut mendekat dan bersandar di bahu Luu. Bulu matanya yang amat lentik berkedip mengantuk. "Iya. Jangan sakit hati. Kau punya aku. Kita saling memiliki. Kau tidak butuh yang lain. Kau tidak butuh Nini."
Leah menguap. Ia mencomot kukis dan mengunyahnya perlahan. Seperti biasa, kukis Nini tidak pernah mengecewakan. Leah mengunyah kelewat lamban hingga Luu menegurnya di kunyahan ke-tiga puluh lima. "Kau mengantuk, Le. Tidur. Jangan memaksakan diri. Aku akan menemanimu sampai kau lelap. Bahumu akhir-akhir ini tegang terus, kau tidak percaya aku bisa menjagamu?"
Leah terdiam sejenak. Bimbang.
"Aku takut."
"Kau takut disambangi mimpi buruk itu lagi?"
Leah menggeleng.
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku takut kalau ternyata itu bukan mimpi."
*
923 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Cermin✔
Mystery / Thriller(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di usia tiga belas tahun. Ayahnya mati bunuh diri. Semenjak itu Leah tinggal bersama kembarannya, Luu d...