10 | Menyelinap

55 12 0
                                    

Samir mendorong Leah ke sisi kanan rumah. Mereka bersembunyi di dekat garasi. Di gang sempit tempat penyimpanan perkakas kebun. Dari tempat mereka berdiri, suara musik dari radio terdengar samar di telinga Leah. Tapi anehnya, telinga gadis itu berdenging. Telinganya jadi semakin sensitif menangkap bunyi-bunyi. Samir yang berjalan mondar-mandir di sampingnya menyuarakan kegelisahan dari tiap langkah kaki yang menggesek tanah. Leah bersandar pada dinding, di samping garpu tanah yang kotor dan berkarat. Mata gadis itu kosong, ada kabut yang menghalangi pandangannya.

Samir berkacak pinggang, ujung sandal jepitnya mengetuk-ngetuk tanah. Jantungnya sedari tadi berpacu cepat. Samir tidak pernah merasakan denyut adrenalin secepat ini. Dari tadi ia terus meremas jari-jemarinya demi menenangkan deru menegangkan darah yang mengalir dalam saraf-sarafnya. Samir tidak pernah berbohong sebelumnya, tidak pada orang tuanya. Tidak pada Adonna. 

Tadi itu kebohongan pertamanya, pergi ke Indomaret. Ia harus menyempurnakan kebohongan itu dengan benar-benar membeli apa yang disuruh. Tapi beberapa saat yang lalu ia terlalu panik membawa Leah pulang sampai lupa pada janjinya untuk membelikan Bibi Shafia keperluan dapur. Ia hendak berlari pergi ke Indomaret, tapi ia harus mengurus Leah dulu. Keselamatan Leah adalah keselamatannya juga.

"Tadi kau kabur dari mana?" Samir bertanya cepat. 

Kata-kata itu beruntun masuk ke telinga Leah, diantar saraf ke otaknya. Tapi diblokade oleh gumpalan kabut yang menghalangi Leah untuk merespon.

Samir yang gelisah menjadi kian tidak sabar. Ia mengguncang bahu Leah. "Kau. Tadi. Kabur. Dari. Mana?!" bisiknya keras.

"Atap. Jendela," gumam Leah, "dengan... Luu."

"Aku tidak tanya kau kabur dengan siapa," tukas Samir. Ia menggigit bibir. "Kau bisa memanjat ke atas lagi? Tanpa ketahuan. Kau bisa?"

Leah menggeleng pelan. "Aku bisa turun karena dibantu Luu."

"Tidak. Kau tidak dibantu siapa-siapa. Perlu diingat kau jatuh, bukan turun! Keajaiban namanya karena tidak ada tulang yang patah atau pendarahan di dalam."
Leah menggeleng lagi. "Aku tidak jatuh, Samir. Aku dibantu Luu. Luu membantuku memanjat turun. Dia—"

"Berhenti sebut nama orang yang tidak ada!" Samir memelankan suaranya. "Stop, Leah, kumohon. Kau berhalusinasi. Sekarang pikirkan bagaimana kau bisa kembali ke kamarmu dengan selamat tanpa ketahuan siapa pun."

Sejujurnya, Leah lebih memilih masuk lewat pintu depan. Dimarahi dan diamuk oleh suami-istri Halim. Lalu dikurung di dalam kamar tanpa jatah makan malam. Tapi nanti Paman Ibra pasti akan mengunci jendela atap kalau tahu Leah bisa nekat kabur dari sana. Kalau begitu, bagaimana Luu akan menyelamatkannya?

Samir mendumel. Leah menyela, "aku akan memanjat dengan tangga."

"Konyol. Kita tidak punya tangga."

"Aku akan memanjat dengan tangan kosong."

"Kau akan masuk lewat pintu belakang." Samir menukas, tiba-tiba terpikir hal cemerlang itu. Ia lupa bahwa mereka punya pintu belakang karena pintu itu tidak pernah digunakan. Pintu belakang akan membawa Leah ke dapur, lalu ke tangga lantai dua. Tapi masalahnya, Bibi Shafia selalu ada di dapur. Dapur adalah daerah kekuasaannya.

"Pintu belakang," gumam Leah. Bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Ia merasa gerah oleh gelisah. Padahal langit mendung dan berangin. Hawa dingin bertebaran.

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang