Part 22

98 27 0
                                    

💎Happy reading💎

Arjune mendengus kesal kala Lauren tak kunjung melepas pelukannya dari Arjune, tentu dengan suara dibuat-buat seperti sedang menahan rasa sakit yang mungkin saja bisa meledakkan kepalanya kapan saja.

Arjune bergumam, tak terlalu jelas, tapi yang jelas Arjune sedang mengutuk Lauren dalam hati. Andai saja Arjune adalah seorang psikopat gila, mungkin sudah sedari tadi Lauren tak lagi bernapas dibuatnya.

'Stev! Kalau kau dan aku memang terikat sumpah darah, kalau kau bisa merasakan keberadaanku, dan kalau kau mendengar perkataanku saat ini, tolong datanglah kemari. Kau harus ke sini,' pinta Arjune membatin seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat. Cara itu tiba-tiba dia pikirkan karena mengingat sebuah film fantasi yang sering dilihatnya di TV, Arjune berharap pesan sejenis telepati yang diucapkannya dalam hati itu benar-benar akan didengar oleh Stev yang entah di mana posisinya sekarang.

Sekitar lima menit, tak ada pergerakan apa-apa dari Arjune, Lauren juga sudah memelankan ringisannya kala tak mendapat respon apa-apa dari Arjune. Bodohnya lagi, Stev yang Arjune nantikan kehadirannya tak kunjung datang, membuat Arjune merutuki kebodohannya sendiri karena berpikir dirinya memang bisa memanggil Stev hanya dengan telepati.

"Suhu di sini sangat dingin," komentar Lauren pada akhirnya, kepalanya masih tersandar di bahu Arjune, walau tangannya tak lagi memeluk tubuh Arjune.

'Kau ingin aku membakarmu?' batin Arjune begitu kesal.

Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, entah angin dari mana membuat Arjune benar-benar merasa kedinginan. Setelahnya sosok Stev berdiri dengan gagah di depan Arjune, menatap lurus ke arah Arjune dengan tatapan kosong. Sepertinya Lauren tak menyadari kedatangan Stev karena matanya yang terpejam.

Arjune membulatkan matanya, tak percaya Stev benar-benar menemukannya, walau butuh waktu beberapa menit. Sepertinya Arjune memang bisa mengirim pesan kepada Stev melalui telepati.

"Makananmu ... kau lapar 'kan?" tanya Arjune, menunjuk Lauren yang bersandar di bahunya.

Mendengar suara Arjune membuat Lauren mendongak, seolah kata-kata Arjune tadi ditujukan kepadanya.

Stev sama sekali tidak bersuara, kemudian langsung menyeret Lauren entah ke mana, sangat cepat membuat Arjune lagi-lagi harus merasakan angin kencang itu. Setelahnya Arjune tak tahu lagi keberadaan Stev dan Lauren saat ini, yang terpenting sekarang dia tak harus berada di dekat Lauren lagi yang seperti wanita tak berakhlak.

****

Zoya berjalan bolak-balik di dalam kamarnya---kamar rumah Arjune---yang entah sejak kapan gerakan itu dilakukannya. Kini pikiran Zoya tak hanya terpaku pada kedua orang tuanya, tapi pikirannya bercabang memikirkan kejadian yang tak ingin dilihatnya besok hari. Waktu di mana Stev akan berhadapan langsung dengan Frederick, mempertaruhkan nyawanya agar vampir Bi-Blood itu tak lagi bertindak seenaknya atau mungkin sebaliknya, Frederick-lah yang akan membuat Stev tidak bisa apa-apa dan kemungkinan terburuknya adalah kematian Stev. Jujur saja, situasi seperti ini membuat Zoya panik, tak tahu harus berbuat apa.

Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 06.46 WIB, terhitung sudah tiga kali Arjune mengetuk pintu kamar Zoya hanya untuk menanyakan Zoya sudah siap ke sekolah atau belum, tiga kali pula Zoya menjawan dengan jawaban serupa.

"Sebentar lagi," kata Zoya kala pertanyaan Arjune yang keempat terdengar lagi.

Zoya memang sudah memakai seragamnya sedari tadi, tapi masih takut untuk keluar kamar seolah di luar sana ada bahaya yang akan menyambut kedatangannya, bisa jadi bahaya itu dari Stev sendiri yang Zoya khawatirkan. Sejurus kemudian Zoya menyambar tas sekolahnya dan keluar dari zona nyaman.

Tak ada percakapan yang terjadi saat Zoya ke luar kamar yang disambut langsung oleh Stev dan Arjune. Sepertinya Arjune juga tidak ada niatan berbasa-basi kedapa Zoya karena terlalu lelah, kejadian semalam menambah beban dalam kepalanya.

Tadi malam Arjune menunggu Stev dan Lauren kembali sampai hampir dua puluh menit. Saat kembali pun Stev hanya sendirian, dengan bercak darah yang terlihat mengotori area bagian mulutnya. Saat kembali pun wujud yang Stev tampilkan adalah wujud vampirnya, bukan wujud manusianya. Itu membuat Arjune bergidik ngeri kala mencoba membayangkan apa yang terjadi dengan Lauren. Kalau saja tubuh Lauren yang mungkin sudah menjadi mayat itu ditemukan, Arjune yakin tak jadi masalah, mengingat kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Frederick dan rombongannya (mungkin) tak pernah ada titik terang. Kalaupun ada yang menemukan Lauren, pasti kasus itu tak akan diselidiki lebih jauh, begitu menurut pemikiran Arjune.

Saat sampai di sekolah pun tak ada satu di antara mereka yang membuka mulut, tak heran jika Stev hanya diam karena biasanya dia tak pernah banyak bicara, tapi begitu terlihat aneh kala Zoya dan Arjune pun tak bersuara sedikit pun, bahkan batuk, bersin, atau dehem-an mereka pun tak keluar.

Saat mereka bertiga menyusuri koridor, menuju kelas XII IPA1 tanpa sengaja mereka berpapasan dengan Frederick dan Maura yang berjalan berlawanan arah dengan mereka. Seketika tubuh Stev bergetar, ketakutan tentunya. Zoya dan Arjune juga terlihat bergidik melihat Frederick dan Maura.

"Hai, Manis!" sapa Frederick kepada Zoya sambil mencolek dagu Zoya kala posisinya hanya berjarak sekitar satu hasta dari Zoya.

Dengan sigap Stev menarik tubuh Zoya agar lebih dekat dengannya, kemudian melayangkan tatapan mematikannya kepada Frederick, seolah dari tatapan itu dia mengisyaratkan kepada Frederick agar tidak menyentuh miliknya.

Frederick terlihat cuek dengan pergerakan Stev yang tiba-tiba, kemudian bergumam, "Besok waktunya akan segera tiba."

Stev membuang wajahnya ke sembarang arah, menghindari kontak mata dengan Frederick. Zoya yang tadi ditariknya tak bergerak dari posisinya, menyembunyikan wajahnya di lengan Stev yang terbalut hoodie hitam, tapi tubuh itu jelas-jelas bergetar hebat.

Frederick dan Maura berjalan meninggalkan mereka bertiga dengan tawa yang sengaja mereka besarkan volumenya, mengejek Stev yang pasti sangat ketakutan hanya sekedar melihat wajahnya saja.

Arjune menatap nanar tubuh Zoya yang menempel pasti pada lengan Stev, terlalu dekat membuat mata Arjune tiba-tiba terasa panas, beriringan dengan hatinya yang seperti diporak-porandakan dalam waktu kurang dari tiga puluh detik.

"Tak apa ... dia tak akan bisa melukaimu, aku akan melindungimu," ujar Stev menenangkan Zoya yang sepertinya akan segera menangis.

Zoya mendongak, menunjukkan wajah pucatnya kepada Stev. "Bagaimana mungkin kau bisa melindungiku? Dirimu saja belum tentu bisa kau lindungi, Bodoh!"

Tanpa sadar Zoya menangis, meneriaki Stev yang berdiri sangat dekat dengannya.

Zoya menunduk, tak ingin memperlihatkan air mata itu pada lawan bicaranya. "Kau sendiri yang mengatakan padaku kalau aku adalah santapan terenak bagi para vampir. Erick, kau tahu dia sangat kuat 'kan? Kalau dia membunuhmu, itu artinya selanjutnya giliranku bukan?!"

Stev tak menutupi apa-apa dari Zoya dan Arjune, apa pun yang diketahuinya, semua informasi yang penting yang dia tahu, tak ada satu pun yang tak Stev sampaikan kepada mereka, tapi masih ada sesuatu yang tidak atau belum Stev beritahu kepada mereka berdua.

Stev memperhatikan sekeliling, banyak pasang mata yang menatap mereka bertiga dengan tatapan bertanya-tanya, tak hanya karena perkataan Zoya yang tak mereka pahami, tapi juga karena Zoya yang menangis.

"Bisa kita ke kelas sekarang?" tanya Arjune, mencoba mencari topik lain agar suasana tak bertambah buruk.

Zoya sedikit menghentakkan kakinya ke lantai, kemudian berjalan cepat ke kelasnya yang hanya perlu melewati dua kelas lagi. Stev dan Arjune mengikuti mereka dari belakang seperti bodyguard yang siap melindungi Zoya dari bahaya apa pun.

Bersambung ....

The Time (Vampire) [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang