💎Happy reading💎
Untuk sesaat, suasana di mobil itu mendadak sunyi, tak satu pun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua memilih diam, membiarkan mereka terkurung dalam dimensi angan yang mereka ciptakan. Sampai akhirnya suara Zoya memecah keheningan yang tercipta.
"K--kau ... jangan menemuinya lagi!" pinta Zoya dengan suara bergetar.
"Hah?" Stev mengernyitkan dahinya, laki-laki itu jelas tak mengerti arah pembicaraan Zoya, "Menemui siapa?"
"Frederick ... kau tak boleh menemui Frederick lagi. Tak peduli dia itu vampir A-Blood atau Bi-Blood. Dia berbahaya, Stev."
Stev menarik napas berat, membiarkan dinginnya udara menembus rongga hidungnya, sampai akhirnya suara berat lelaki itu kembali terdengar.
"Kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya."
****
Arjune berteriak heboh kala menyadari Zoya tak ada di rumahnya. Dia menghilang setelah tadi mereka bertiga berkumpul di ruang tengah, menghabiskan waktu yang ada hanya sekedar untuk membahas hal yang tak begitu penting, sedikit membosankan, tapi cukup untuk memecah sunyi yang sempat tersisa. Setelahnya Zoya pamit, tak sampai sepuluh menit, hingga Arjune mulai menyadari keanehannya. Saat mencoba mencari Zoya di seluruh ruangan yang ada di rumahnya, sosok yang dicari tak ditemukan di mana-mana.
"Ada apa?" tanya Stev panik kala mendengar teriak Arjune yang menggema.
"Zoya menghilang," jawab Arjune panik, pikirannya sudah melayang jauh memikirkan hal buruk yang mungkin sedang memeluk Zoya.
Stev mulai tak tenang mendengar penuturan Arjune, pikirannya pun langsung mengarah ke tempat di mana biasanya Frederick berada. Karena alasan Zoya menghilang dalam sekejap tak mungkin bisa dilakukan manusia biasa, dan Stev yakin kali ini Frederick ada di balik ini semua.
"Tunggulah di sini! Aku akan menyusul Zoya." Stev berlari meninggalkan Arjune yang memaku ditempatnya.
"A--aku ikut bersamamu!" teriak Arjune.
Sejenak Stev mengalihkan pandangannya ke arah Arjune yang sudah jauh dari tempatnya sekarang, kemudian membalas teriakan itu dengan teriakan pula. "Tangkaplah sinyal yang kukirim padamu, lewat luka itu!"
Setelahnya sosok itu menghilang dalam pandangan Arjune, menyisakan sunyi yang kini memeluk Arjune erat, bersamaan dengan khawatir yang ikut memeluknya tak kalah erat. Arjune mencoba mencerna perkataan Stev, tapi otaknya terlalu sulit untuk berpikir dalam keadaan seperti ini. Entah apa sinyal yang Stev maksud, kalau luka yang Stev maksud, Arjune yakin luka di punggung tangan kanannya inilah yang ia maksud.
Dalam keraguan yang menyelimuti, Arjune berlari ke luar rumah, menaiki motor yang beberapa bulan terakir ini jarang sekali digunakannya, mungkin motor itu hanya Genta saja yang sesekali meminjamnya untuk sekedar menikmati angin sore.
Sementara Stev, dia sudah tiba di markas Frederick tepat satu menit yang lalu. Napasnya terdengar memburu, bersamaan dengan wujud aslinya yang mulai ia perlihatkan. Sosok yang ia cari tak ada di sana, hanya ada Maura yang seperti sudah siap menunggu kehadirannya, bersandar pada salah satu tiang dengan tangan bersedekap di atas perut, kaki kirinya sengaja ia silangkan pada kaki tangan, sambil tersenyum miring ke arah Stev.
"Di mana Zoya?!" tanya Stev tanpa basa-basi.
"Darah Istimewa? Hah ... sepertinya Frederick sedang menikmati---"
Perkataan Maura harus terpaksa berhenti detik itu juga, tangan kekar itu dengan sigap membenturkan kepalanya pada tiang tempatnya bersandar. Tenaga yang Stev keluarkan cukup kuat hingga membuat tiang tempat Maura bersandar harus retak.
"Shhh ...." Maura memegangi kepalanya yang mengeluarkan darah, kemudian tertawa remeh, menatap Stev dengan tatapan mata yang sengaja disipitkan.
Maura menggertakkan giginya kuat-kuat, kemudian meninju keras tiang yang tadi digunakannya untuk bersandar, membuat retakan baru yang lebih besar tercipta di tiang itu.
"Bi-Blood ... setidaknya kau tak seperti Frederick yang berpura-pura menjadi Bi-Blood, padahal dia sama sepertiku, hanya A-Blood biasa."
"Frederick A-Blood? Omong kosong apa yang kau bicarakan, sialan?!" Maura terdengar murka hanya karena mendengar penuturan Stev.
Maura memang tak pernah mengetahui rahasia besar itu, jadi saat mendengar kenyataan itu keluar dari mulut Stev, Maura hanya menganggapnya omong kosong.
"Kau harus membawa rahasia besar itu ke dalam neraka!" Detik berikutnya Stev mencakar kuat leher Maura saat wanita itu lengah.
Maura tak meringis, tapi kali ini dia justru mengerang, mencoba menghentikan darah yang menyucur dari lehernya. Dari sekian banyak luka yang mudah ia sembuhkan, luka di leherlah yang memiliki waktu paling lama untuk sembuh.
Tentu Stev tak mau kehilangan kesempatan saat lawannya melemah, untuk kedua kalinya Stev kembali melayangkan tangan kirinya ke arah Maura, yang sukses Maura hindari dengan sebelah tangan, membuat Stev terkuak beberapa meter ke belakang.
Seperti harimau yang tak mau mangsanya lepas, Stev buru-buru mendekati Maura kembali, mempersiapkan kesepuluh kuku-kuku panjangnya ke arah Maura, tepat sebelum luka di leher Maura kembali tertutup sempurna. Serangan dengan tujuan yang sama kembali Stev berikan, tapi kali ini sedikit berbeda, kalau tadi ia hanya menggores leher Maura, kini kuku-kuku tajam itu ia pergunakan untuk menusuk leher Maura, hingga Stev merasakan kukunya beradu di dalam leher Maura.
Maura menjerit sekeras yang ia bisa, kemudian menghantam kuat perut Stev dengan kaki kanannya. Stev lagi-lagi harus terseret ke belakang, kali ini lebih jauh membuat punggung Stev mau tak mau harus terbentur dengan dinding dingin di belakangnya. Bersamaan dengan itu keseimbangan tubuh Maura mulai melemah, kini yang jadi tumpuan berat badannya ia pindahkan ke lutut, lutut itu menyentuh lantai dengan sempurna. Tangannya ia gunakan untuk menutupi darah yang menyucur dari kedua sisi lehernya yang Stev tusuk tanpa rasa iba.
"S--siapa kau sebenarnya?" tanya Maura terbata-bata, "Tak ada A-Blood yang sekuat ini biasanya."
"Kau melupakan satu hal ...." Stev menyeret langkah kakinya untuk kembali mendekati Maura, pada bagian perutnya mulai terasa ngilu, "Sebelum menyandang gelar sebagai vampir A-Blood, dulunya aku terlahir sebagai manusia setengah vampir, itu membuatku lebih sempurna dari Bi-Blood."
Untuk serangan penutup, Stev mendorong kuat tengkuk Maura, menekankannya ke bawah, hingga kepala itu harus bertabrakan dengan dinginnya lantai. Lantai itu retak, pun dengan kepala Maura yang ikut terkoyak kulit kepalanya, tengkoraknya mungkin saja pecah. Sesaat sebelum teriakan Maura menggema, Stev kembali membenturkan kepala itu lebih kuat ke lantai, membuat lubang yang tercipta semakin dalam. Sedikit demi sedikit lubang itu mulai dipenuhi oleh cairan merah yang kental.
Tubuh Maura melemah, tak ada perlawanan yang bisa ia berikan, hingga untuk yan ketiga kalinya Stev kembali membenturkan kepala itu, membuat tengkoraknya benar-benar pecah, menyisakan cairan merah kental yang memenuhi tangan kanan Stev.
Stev membenarkan posisi berdirinya karena memang tadi Stev tidak berada pada posisi berdiri, ia membungkuk, kemudian kembali berdiri tegap kala misinya yang satu itu telah usai. Tangan yang berlumuran darah itu ia kibas-kibaskan, membuat darahnya memercik ke mana-mana seiring kibasan tangan Stev yang teratur.
"Frederick! A-Blood sialan! Keluar kau!" pekik Stev. Wajah itu menjelma seperti bukan dirinya yang biasanya selalu santai.
Tak ada sahutan yang Stev terima, membuat Stev harus menggertakkan giginya sebagai pelampiasan rasa amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun. Hingga Stev mengingat sesuatu, dulu sekali Stev pernah ke sini bersama ayahnya. Saat di mana ia dibawa paksa oleh Adelard ke sini, meninggalkan Auristela yang tak lagi bernyawa, terbaring begitu saja di atas tanah yang sedikit becek, jantungnya tak ada pada tempat yang seharusnya karena diambil paksa oleh seseorang yang Adelard perintahkan untuk membunuh Auristela.
Mengingat kejadian itu membuat mata Stev memanas, masih teringat jelas olehnya bagaimana Auristela memanggilnya dengan panggilan 'Tao'.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time (Vampire) [Complete]
UpířiMisteri yang Stev bawa bersama hadirnya, sedikit demi sedikit mulai terungkap.