💎Happy reading💎
"Tidak usah, Gib! Biar kakak bersihkan." Syifa memberikan Arjune kepada Vian, lalu bergegas mengambil sapu dan sekop untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai kamar Arjune.
Tak lama setelahnya Gibran permisi pulang, katanya ada pekerjaan yang menunggunya. Sepertinya pekerjaan yang mendesak, jelas terlihat dari wajah Gibran kalau dia sedang ingin buru-buru. Tentu Vian dan Syifa tidak bisa melarang Gibran untuk pergi. Mereka tahu belakangan ini Gibran sedikit sibuk dari biasanya, jadi mereka bisa maklumi itu.
Vian menyayangi Gibran seperti dia menyayangi Arjune karena hanya Gibranlah keluarganya yang tersisa setelah Arjune dan Syifa. Kedua orang tua Vian, alias nenek dan kakek Arjune dari pihak ayah sudah meninggal dunia, begitu juga dari pihak ibu. Jadi, Arjune tidak pernah bertemu dengan kakek dan neneknya dari pihak ibu (orang tua Syifa), tapi Arjune masih sempat bertemu dengan kakeknya dari pihak ayah (ayah Vian). Sekarang ayah Vian juga sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu.
Vian dan Syifa pergi ke ruang keluarga dan meninggalkan Arjune yang sedang asyik mengerjakan PR Matematikanya. Arjune selalu mengerjakan PRnya tanpa bantuan Vian maupun Syifa karena memang Arjune sangat mudah dalam menyerap pelajaran. Itu sebabnya Arjune tak butuh bantuan dari kedua orang tuanya.
Setelah selesai berkutat dengan PR Matematikannya, Arjune berniat menemui ayah dan ibunya di ruang keluarga. Arjune mengerjakan PRnya dengan sedikit terburu-buru tadi karena ingin bermain dengan Vian. Sepertinya anak dengan nama lengkap Syauqy Arjune Favian ini sangat merindukan ayahnya.
Namun, betapa terkejutnya Arjune saat mendapati kedua orang tuanya tergeletak tak berdaya di lantai, dari mulut Vian dan Syifa tampak ada busa yang keluar. Tubuh Arjune seketika membeku dan pandangnnya mulai kabur karena terhalang air mata yang menggenang di pelupuknya. Sedetik kemudian Arjune berlari menghampiri kedua orang tuanya yang terbaring di samping sofa.
Arjune menangis, rasanya melihat orang tuanya dalam keadaan seperti saat ini sangatlah menyakitkan. Tubuh Arjune mulai bergetar hebat, bahkan untuk bersuara pun rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Sebisa mungkin Arjune menggoyangkan tubuh ayah dan ibunya secara bergantian. Namun, tak ada jawaban sama sekali.
Tiba-tiba ponsel di saku celana Vian berbunyi, menyadarkan Arjune dari kebingungan dan ketakutan yang tengah melandanya saat ini. Buru-buru Arjune merogoh saku celana Vian dengan tangan bergetar, panggilan masuk dari orang bernama Genta. Tangan yang bergetar itu Arjune coba untuk menjawab panggilan yang masuk.
[Halo, Pak ... saya punya kabar bagus. Proyek kita kemaren sukses besar, Pak.] Suara di seberang sana terdengar berbicara penuh semangat.
Arjune terdiam, otaknya sedang berusaha mencerna seluruh kejadian yang ada, berharap ini semua hanya mimpi. Sejenak Arjune lupa akan ponsel di tangannya, matanya fokus menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Sedetik berikutnya Arjune tersadar oleh suara dari ponsel Vian yang terus memanggil 'Pak', mungkin karena tak kunjung mendapat respon, jadilah pria bernama Genta itu terus memanggil.
Arjune kembali menangis, detak jantungnya mulai kencang seiring sadarnya Arjune dengan situasi saat ini bahwa ini semua bukanlah mimpi. Ayah dan ibunya benar-benar tertidur di lantai yang dingin dengan mulut penuh busa.
"Huhu ... Genta ... ma--mama ... huwaaa. Papa," racau Arjune tidak jelas.
Setelahnya ponsel itu luruh dari tangan Arjune. Tubuh Arjune melemah, dibaringkannya tubuh lemah itu di antara Vian dan Syifa, isakan yang begitu pilu masih saja terdengar jelas dalam ruangan besar itu. Perlahan kesadaran Arjune mulai hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time (Vampire) [Complete]
VampirosMisteri yang Stev bawa bersama hadirnya, sedikit demi sedikit mulai terungkap.