💎Happy reading💎
Bel istirahat baru saja berbunyi sekitar lima menit yang lalu, suana kelas XII IPA1 sudah lengang, menyisakan Stev, Zoya, dan Arjune yang seperti tengan berkutat dengan pikiran masing-masing. Dari ruangan yang tidak terlalu luas ini tidak ada suara sama sekali, kecuali suara jarum jam yang berdetak teratur.
Arjune menggeser kursinya sedikit ke belakang, membuat bunyi yang sedikiy berisik, memutar lutut yang semula menghadap mejanya ke arah di mana Stev duduk dengan mata menatap cepat ke sekeliling ruangan.
"Kau tak apa?" tanya Arjune ragu-ragu, "Aku khawatir, Bodoh."
Stev melayangkan tatapannya kepada Arjune yang duduk di sampingnya. "Tidak."
"Kenapa kau selalu berkata tidak, hah?!" Zoya berteriak dengan mata berkaca-kaca, "Padahal kenyataannya tak seperti itu, kau benar-benar ketakutan saat ini, Erick bisa saja menjadi malaikat mautmu besok. Bagaimana mungkin kau tidak apa-apa?!"
"Pelankan suaramu!" peringat Arjune karena takut ada yang mendengar perbincangan mereka.
Stev tampak ragu untuk membalas perkataan Zoya, lebih tepatnya terlalu takut untuk mengungkapkan bahwa dirinya memang sedang ketakutan saat ini. Jari telunjuk dan tengah sebelah kanannya diketukkan di atas meja, nadanya tak begitu beraturan, tapi itu menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam keraguan saat ini.
"Lalu? Aku bisa apa? Mengatakan kepada kalian bahwa besok aku akan pergi, tak akan kembali walau sedetik pun? Memangnya dengan aku mengatakan bagaimana takutnya aku saat ini, rasa ini akan berkurang? Atau tiba-tiba saja Erick merubah pikirannya dan tidak jadi membunuhku, begitu?!" Stev berteriak lantang, tak kalah lantang dari teriakan Zoya tadi.
"Setidaknya aku akan membantumu," jawab Arjune, dengan nada lemah, mengisyaratkan bahwa dia tak yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.
Tanpa sadar Stev berdiri dari duduknya, tudung hoodie yang tadi menutupi kepalanya pun terbuka ketika Stev bergerak cepat untuk berdiri. Kaki Stev bergetar hanya sekedar menahan bobot tubuhnya sendiri.
"Kalian manusia-manusia bodoh. Jelas-jelas aku mengatakan kalau semua vampir itu tak punya hati nurani. Jangan lupakan kalau aku ini juga vampir, aku tak sebaik apa yang kalian lihat. Kau,"--Stev menunjuk Arjune dengan tangan kirinya--"aku hanya memanfaatkanmu saja. Sekarang siapa yang bodoh? Kau? Atau aku?"
Zoya dan Arjune sama-sama terhenyak mendengar teriakan lantang dari Stev. Tak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa selama ini Stev hanya memanfaatkan Arjune---mereka---saja. Dengan sikapnya yang terlalu polos dan tidak banyak melakukan kegiatan, membuat Zoya dan Arjune tak pernah berpikir kalau dibalik kepolosan Stev, dia tak lebih dari monster penghisap darah yang menakutkan.
"Kau ... aku hanya mendekatimu karena darahmu saja. Kau makanan terenak dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya begitu saja," lanjut Stev, menatap tajam ke arah Zoya.
Arjune berdiri dari posisinya, kemudain menggertakkan giginya rapat-rapat. "Bangsat! Aku akan membunuhmu!"
Arjune mencengkeram kerah baju Stev kuat-kuat, matanya menggambarkan amarah yang sudah mencapai seratus persen, gigi-giginya terdengar saling beradu, menimbulkan bunyi yang khas.
Stev menelengkan kepalanya ke arah kiri, kemudian tangan kanannya terangkat untuk mencekik leher Arjune yang berdiri tepat di depannya. Arjune terbatuk dan refleks melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Stev.
"Aku yang akan membunuhmu," murka Stev, menatap Arjune tajam dengan mata merahnya.
Zoya sontak berdiri dan kakinya tanpa sengaja membentur kaki kursi hingga membuat suara bising. Zoya sangat takut, bahkan Zoya seakan bisa mendengar detak jantungnya karena jantung yang terlalu keras berdetak.
Stev melepas cengkeraman tangannya dari leher Arjune dengan sedikit mendorongnya, membuat Arjune mau tak mau mundur beberapa langkah.
Stev memperbaiki tudung hoodie-nya untuk menutupi kepalanya, kemudian keluar dari dalam kelas dengan cepat.
Ketika punggung Stev menghilang dibalik pintu kelas, Zoya buru-buru menghampiri Arjune yang terlihat syok dengan tangan memegang lehernya yang terasa sakit.
"Kau tidak apa-apa 'kan?" tanya Zoya panik.
Arjune menggeleng dengan tatapan kosong, seakan rohnya sedang tidak bersama raganya saat ini, membuat Zoya lebih panik dan berinisiatif untuk melihat leher Arjune, kalau-kalau leher itu terluka, Zoya bisa segera mengobatinya.
Leher Arjune tidak terluka atau pun tergores, hanya sedikit memerah, tapi tak terlalu kentara. Membuat Zoya bisa bernapas legah untuk sesaat.
"Ini gila ... ini salahku, aku yang membangunkan Stev dan membuat kekacauan ini," gumam Arjune, matanya masih menampilkan tatapan kosong, seraya terus menggelengkan kepalanya teratur.
Zoya tidak membalas perkataan Arjune, sebagai gantinya dia malah menangis, entah karena merasa bodoh telah mempercayai Stev selama ini atau karena sesuatu yang membuat dirinya tak habis pikir. Zoya dan Arjune seperti orang asing yang tak sengaja bertemu di kelas ini, kemudian sama-sama menceritakan kisah hidup mereka yang sebenarnya tidak mengerti bahasa satu sama lain.
****
Stev berjalan cepat ke gudang sekolah, mengunci dirinya di dalam sana bersamaan dengan benda-benda usang yang tak lagi terpakai di dalam gudang itu. Pada langit-langit gudang dan daerah-daerah tertentu bisa dilihat banyaknya jaring laba-laba dan banyak debu di mana-mana, sepertinya tempat ini sudah lama tak lagi dibersihkan. Stev sengaja memilih tempat ini karena suasananya yang tentu lebih tenang dan terlindung dari sinar Matahari yang menyengat.
Stev menduduki salah satu kursi lapuk yang terletak sedikit ke belakang, tak mempedulikan celananya yang akan kotor oleh debu yang menempel pada kursi.
Stev menundukkan kepalanya dalam-dalam, dia terlalu takut untuk menghadapi Erick besok hari. Entah itu pagi, siang, sore, ataupun malam, yang jelas besok Frederick akan menemuinya. Tak peduli ke mana pun Stev bersembunyi untuk menghindari Frederick, dia tetap akan bisa menemukan Stev, tentu dengan kekuatan yang dimilikinya itu. Frederick bukanlah tipe orang--vampir yang suka bertele-tele. Jika dia berencana melakukan sesuatu, maka akan dilakukannya apa pun resikonya.
Stev mengetukkan kedua jari telunjukkan pada paha, mencoba berpikir bagaimana dia bisa selamat dari serangan Frederick besok hari.
"Bodoh." Stev bergumam, entah kata itu dia tujukan untuk siapa. Entah untuk Frederick yang berniat membunuhnya besok hari, entah untuk Zoya dan Arjune yang mempercayainya begitu saja, atau kata itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
Stev memejamkan matanya rapat-rapat untuk memberikan efek setenang mungkin pada kepalanya yang menyimpan banyak beban. Pikirannya terus berputar akan bahaya yang menunggunya besok, yang Stev yakini akan terjadi pada malam hari. Frederick pasti akan memilih waktu malam hari untuk menemui Stev. Itu hanya anggapan Stev saja karena Stev berpikir Frederick akan membunuhnya pada malam hari yang kemungkinan tak akan terlalu berisik, tapi pada kenyataannya di Jakarta ini tak pernah setenang itu, baik siang ataupun malam. Tetapi, apa pun itu, Stev yakin waktunya akan tiba pada malam hari.
Stev mencoba sebisa mungkin mencari celah untuk memenangkan pertarungannya besok, walau itu pasti akan sangat sulit, mengingat Frederick bukanlah dari vampir biasa, melainkan anak seorang raja. Kekuatannya jauh lebih kuat dari vampir-vampir lain. Tapi, sekecil apa pun kemungkinan untuk menang, Stev yakin pasti ada kesempatan untuknya bisa memenangkan pertarungan itu, memutar balik keadaan, membuat Frederick yang akan bergetar kala bertemu dengannya lagi.
Stev memaksakan kepalanya untuk mengingat sesuatu yang mungkin dilupakannya pada masa lalu---sebelum bangun dari tidur panjangnya. Stev yakin ingatannya belum pulih seutuhnya, masih ada hal lain yang mungkin sangat penting yang masih dilupakannnya. Entah apa itu, yang jelas Stev ingin mencari serpihan ingatan masa lalunya itu.
Stev memegangi lehernya. "Sakit."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Time (Vampire) [Complete]
VampirosMisteri yang Stev bawa bersama hadirnya, sedikit demi sedikit mulai terungkap.