Ruangan bernuansa putih itu terlihat sepi dan sunyi. Seperti tidak ada satupun kehidupan di dalamnya. Gorden kamar yang dibiarkan terus tertutup, seolah menolak kehadiran sang mentari yang mulai menampakkan sinarnya. Namun di balik itu semua, ada sesosok gadis yang tengah duduk di sebuah kursi roda dengan tatapan lurus ke depan cermin.
Setiap hari seperti ini. Dia bosan. Dia ingin bergerak bebas, melakukan apapun yang dia mau tanpa harus bersusah payah. Namun tidak bisa. Pergerakannya sangat terbatas. Dan gadis itu membencinya.
Mulutnya dibiarkan terkatup rapat. Rambut pendek sebahunya dibiarkan tergerai. Posisinya cukup tenang, namun jemari di atas pahanya tidak bisa membohongi kalau dia sedang merasa gelisah.
Perlahan, alisnya mengerut. Remasan kecil di ujung bajunya semakin menguat. Tatapannya berubah menjadi merah menahan amarah. Seperti ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya, gadis itu membuang semua benda-benda yang ada di atas meja riasnya. Dia berteriak sekencang-kencangnya sambil menjambak rambutnya sendiri.
Gadis itu terisak kencang. Tangisannya terdengar memilukan. Kamarnya sudah berantakan. Berkali-kali gadis itu mencoba menghancurkan seisi kamarnya, saat itu pula seseorang masuk ke dalam kamarnya dan menghentikan semuanya.
Sosok itu langsung memeluknya erat. Dia ikut menangis. Dia tidak ingin kalau Kakaknya sampai menyakiti dirinya sendiri. Dia terlalu khawatir. Begitu dia mendengar barang-barang jatuh dan pecah, serta teriakan amarah menggema di penjuru ruangan, sosok itu langsung berlari kencang menuju kamar kakaknya.
Benar saja. Kakaknya kembali berulah. Sepertinya, dia masih belum menerima keadaannya sekarang.
"Lepas! Lepasin gue!"
Gadis berusia sembilan belas tahun itu memekik keras sambil mendorong kasar tubuh Adiknya hingga jatuh terjerembab ke lantai. Dia tidak peduli saat melihat wajah kesakitan Adiknya. Baginya, saat melihat wajah itu hanya akan membuat amarahnya semakin memuncak.
Asya, mata gadis itu berkaca-kaca. Dia sakit saat melihat Kakaknya kembali bertingkah seperti ini. Kembali menolak kehadirannya di dalam hidupnya. Kenapa? Apa salah Asya? Kenapa Kakaknya selalu menolak dia?
Asya tidak menyerah. Dia kembali mendekati Sang Kakak sambil mengulas senyum. Dengan sedikit gemetar, Asya berucap, "Kak Anjani, Kakak kenapa lagi? Jangan buang semua barang di sini, Kak, nanti kalo ada yang pecah terus kena tangan Kakak gimana?"
Anjani menepis tangan Asya. Dia tidak suka saat Asya kembali bersikap peduli terhadapnya. Dia muak. "Lo bisa stop peduliin gue nggak sih? Mau gue lakuin apapun itu urusan gue! Lo nggak berhak ikut campur!"
"Aku nggak bisa buat berhenti peduli sama Kak Anjani. Kakak itu Kakak satu-satunya yang aku punya. Aku sayang Kakak. Aku nggak mau kalo Kakak sampe kenapa-kenapa." Asya berujar lembut. Tidak mengindahkan tatapan tajam yang Anjani berikan padanya.
"Ya tapi gue nggak suka kalo lo peduli sama gue! Minggir!"
Anjani mendorong tubuh Asya hingga terduduk di lantai. Ia mendorong kursi rodanya dengan tangannya sendiri, hendak keluar kamar. Melihat Sang Kakak bergerak dengan susah payah, Asya berinisiatif untuk kembali membantunya. Asya mengambil alih untuk mendorong kursi roda Anjani.
"Sini. Biar aku aja yang dorong biar Kakak nggak kesusahan gitu,"
Kedua tangan Anjani terkepal. Sungguh, dia tidak ingin berbuat ataupun berbicara kasar kepada Asya, namun gadis itu selalu saja bisa membuat darah Anjani mendidih. Entah kenapa saat Anjani melihat wajah Asya emosinya langsung meluap. Padahal, Asya tidak mempunyai kesalahan apapun padanya. Hanya saja, Anjani iri saat melihat Asya bisa bergerak bebas seperti yang dia mau sedangkan dia tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (✓)
Teen FictionEPIPHANY. Epiphany adalah sebuah kejadian atau momen yang terjadi dalam hidup dan mampu mengubah jalan hidup atau pemikiran seseorang. Ini kisah tentang Anjani dan adiknya-Asya. Mereka berdua hidup dengan sebuah perbedaan yang mampu membuat mereka m...