EP 6 🥀

66 22 3
                                    

Tidak terasa bel pulang sekolah sudah berbunyi satu menit yang lalu. Para murid berhamburan keluar kelas. Berlarian di koridor menuju parkiran hanya untuk menjemput kendaraan masing-masing. Begitu pun yang dilakukan oleh Asya dan Salwa. Kedua gadis itu berjalan ke arah motor Salwa berada. Keduanya berjalan sambil sesekali melempar lelucon.

"Lo beneran nggak mau gue anterin? Gue lagi berbaik hati, nih." Salwa kembali menawarkan bantuannya. Mengingat tadi Asya sempat mengatakan kalau gadis itu harus pergi ke suatu tempat yang tidak Salwa ketahui.

Hujan sudah reda beberapa jam yang lalu. Namun langit masih menapakkan awan kelabu. Tidak secerah biasanya. Bau hujan masih sangat terasa di indera penciumannya.

Asya menggeleng. Lagi, dia menolak dengan halus. "Nggak usah, Sal. Lagian deket, kok. Jalan kaki juga sampe. Lo mending pulang sana, ntar ortu lo khawatir kalo lo pulang telat."

Salwa memicing curiga. Dia mengembuskan napas panjang. Tangannya terulur untuk mengambil dan memakai helmnya. Dia naik ke atas motor. Sambil menyalakan mesin motornya, Salwa kembali menawarkan bantuan. Namun Asya kembali menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Padahal, Salwa tidak merasa direpotkan sama sekali. Justru dia merasa senang karena bisa membantu Asya.

"Ya udah, deh. Gue pulang. Kalo ada apa-apa, lo telpon gue, ya. Gue selalu ada kok buat lo,"

Asya tertawa mendengarnya. Dia mengangguk mantap. "Siap, Bos."

Salwa tersenyum. Dia mulai melajukan motornya meninggalkan Asya yang masih berdiri di parkiran. Kini tinggal Asya sendiri dengan beberapa siswa yang masih tinggal di sekolah. Tanpa berlama lagi, dia memutuskan untuk berjalan menuju kafe yang tadi sempat dia lihat.

Kafe itu terletak cukup dekat. Bahkan jika berjalan kaki dari sekolah sampai ke kafe hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Kini Asya sudah berdiri di depan pintu. Dia sempat gugup dan ingin pulang. Namun mengingat hutangnya dan Anjani membuatnya urung untuk kembali ke rumah.

Dengan tekad yang mantap, Asya mendorong pintu kafe menimbulkan bunyi lonceng khas yang berada di atas pintu. Suasana kafe begitu ramai. Rata-rata yang mengunjungi kafe itu adalah para remaja dan orang dewasa. Suasana di kafe itu cukup tenang dan nyaman.

Asya menyapu pandangan ke sekitar. Cafe Osteria ini memiliki tema minimalis. Lantai serta dindingnya terbuat dari kayu. Banyak lampu yang menggantung di sepanjang jalan. Ada juga beberapa tanaman gantung yang dipasang di pojok ruangan. Kafe ini memiliki panggung kecil khusus untuk band atau seseorang yang mau menyumbangkan lagu.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"

Seorang waitress menghampiri Asya yang sedang melihat-lihat isi kafe. Sontak Asya terkejut. Dia membungkukkan badannya kemudian bertanya, "Ruang HRD di mana, ya, Mbak?"

Perempuan dengan seragam cokelat muda itu menunjukkan jalan kepada Asya. Asya mengikutinya dari belakang. Sesekali dia berdecak kagum saat melihat isi lebih dalam cafe Osteria itu.

"Mbak mau melamar kerja, ya?" tanya waitress itu saat mereka sudah sampai di depan pintu yang di depannya terdapat tulisan Ruang HRD.

Asya mengangguk sambil tersenyum.

Perempuan itu menatap Asya dari atas hingga bawah. Mungkin karena Asya masih memakai seragam sekolah. Waitress itu kemudian kembali menatap Asya. "Semoga diterima kerja di sini, ya, Mbak. Saya permisi dulu."

Asya mengangguk. "Terimakasih."

Setelah waitress itu pergi, Asya mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang menyuruhnya untuk masuk. Asya masuk dan langsung disuruh duduk di kursi yang berhadapan dengan HRD.

Epiphany (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang