Pintu terbuka secara kasar. Asya berdiri di ambang pintu dengan napas ngos-ngosan. Gadis itu melirik ke ranjang di mana di sana terdapat Anjani yang sedang duduk bersandar sambil menatap lurus ke depan. Setelahnya dia melirik ke atas nakas yang terdapat nampan berisi makanan serta minuman. Masih utuh. Sepertinya Anjani enggan untuk memakannya.
Asya berjalan mendekati Anjani, tidak lupa dia menutup pintu kamar Anjani lagi. Dia duduk di pinggiran kasur. Matanya terpaku ke bawah. Tepatnya ke arah lutut Anjani yang terdapat memar. Dia meringis pelan.
Siang tadi, dia mendapat telepon dari Bibinya kalau Anjani terjatuh di kamar mandi. Setelah mendapat kabar seperti itu, Asya langsung meminta izin ke guru BK untuk mengizinkannya pulang lebih awal.
Asya menyentuh luka Anjani. Tidak keras, namun hal itu berhasil membuat Anjani memekik kecil. Langsung saja Asya menarik tangannya. Dia menatap Anjani dengan sendu. Kakaknya selalu bungkam setiap berhadapan dengan dirinya. Jika tidak bungkam pun, Anjani hanya mengeluarkan kalimat serta perlakuan kasar kepada Asya.
"Kakak kenapa bisa jatuh?"
Tidak ada sahutan. Anjani masih menatap lurus ke depan. Seolah kehadiran Asya di kamarnya itu tidak ada. Asya tersenyum memaklumi. Tangannya terulur untuk mengambil piring yang berisi makanan untuk Anjani. Dia menyendoknya lalu menyodorkan sendok itu di depan Anjani.
"Kakak makan dulu, ya? Kalo nggak makan, nanti Kakak tambah sakit."
Anjani bergeming. Kepalanya tidak tertoleh sedikitpun. Dia benar-benar menganggap kehadiran Asya di sana tidak berguna. Namun Asya tidak kehabisan akal. Dia terus membujuk Anjani agar mau makan walaupun sedikit. Karena kalau tidak ada asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh Anjani, maka tubuh Anjani akan mudah drop. Dan Asya tidak mau kalau itu sampai terjadi.
"Ayo, Kak, makan. Makanan buatan Bibi pasti enak kok, aku jamin deh." Asya masih terus membujuk Anjani. Tangannya masih terangkat di udara. Sebenarnya dia merasa pegal, namun tidak apa. Demi Anjani. Setidaknya, Asya akan bernapas lega jika satu sendok makanan sudah masuk ke dalam perut Anjani.
"Kak, ayo makan."
Anjani menoleh. Dia menatap Asya tajam. Dengan tanpa berperasaan, Anjani menepis tangan Asya hingga sendok serta isinya jatuh berserakan di lantai.
Asya terkejut. Dia menoleh ke lantai yang kotor lalu kembali menatap Anjani. Tatapan Kakaknya kali ini benar-benar menyiratkan sebuah amarah. Asya tidak ingin membuat Kakaknya kembali memarahinya. Dia hanya ingin Anjani makan agar tubuhnya tidak lemas.
"Lo ngerti nggak sih? Gue nggak mau dipeduliin sama lo, Asya. Kapan sih lo mau ngerti?" Anjani berujar ketus. Sangat kentara sekali kalau Anjani memang benar-benar marah. Dia tidak suka dipaksa. Jika memang dia ingin, pasti dia sudah makan sejak tadi. Tidak perlu dipaksa-paksa seperti itu.
"Tapi Kakak perlu makan, Kak. Sedikit aja. Biar tubuh Kakak nggak lemes nantinya,"
Mau setulus dan seperhatian apapun Asya kepada Anjani, Anjani akan tetap memandang Asya sebagai orang yang dia benci. Dia benci saat Asya kembali lagi di depannya. Tidakkah Asya tahu kalau dia sangat terganggu dengan kehadirannya?
Asya menunduk. "Setidaknya satu sendok, Kak. Aku nggak mau kalo Kakak sampe sakit lagi, aku nggak akan kuat, Kak." Lanjutnya dengan suara bergetar.
Anjani meremas spreinya. Dia memalingkan wajah ke samping. Dia tidak kuat saat mendengar nada menyedihkan itu. Dia tidak akan sanggup. Sungguh. Anjani ingin pergi dari sini sekarang juga demi menghindari lirihan suara dari Asya.
Hati Anjani terasa tercubit. Dia merasa gagal sebagai sesosok Kakak yang baik untuk Asya. Dia merasa kalau dia adalah Kakak yang paling buruk di dunia ini. Dalam hatinya, Anjani menyebut dirinya jahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (✓)
Teen FictionEPIPHANY. Epiphany adalah sebuah kejadian atau momen yang terjadi dalam hidup dan mampu mengubah jalan hidup atau pemikiran seseorang. Ini kisah tentang Anjani dan adiknya-Asya. Mereka berdua hidup dengan sebuah perbedaan yang mampu membuat mereka m...