EP 21 🥀

47 14 0
                                    

Asya izin tidak berangkat sekolah untuk menemani Anjani. Gadis itu sudah bangun saat Asya datang ke rumah sakit tadi pagi. Asya meminta Salwa untuk membuatkannya surat izin agar tidak alfa. Bisa-bisa nanti dia diejek oleh Bagas. Huh, sungguh menyebalkan.

Ngomong-ngomong tentang Bagas, cowok itu apa kabar, ya? Apakah hati Bagas sudah terbuka untuk tidak membencinya? Sebenarnya Asya tidak terlalu berharap. Toh, jika Bagas benar membencinya, itu adalah haknya. Dia tidak bisa melarang ataupun memintanya agar tidak membenci dirinya.

Saat ini Asya sedang membujuk Anjani untuk segera sarapan lalu minum obat. Namun Anjani menolak. Gadis itu tidak mau memakan makanannya dan tidak mau minum obat. Sedari tadi, selepas bangun dari tidurnya, Anjani tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hal itu membuat Asya menjadi khawatir sendiri.

"Kak, ayo makan dulu terus habis itu minum obat. Biar Kakak sembuh."

Anjani diam dengan tatapan kosong. Wajahnya yang pucat membuat Asya mengembuskan napas lelah. Dia menyerah. Asya meletakkan piringnya di atas nampan. Setelah itu dia mengambil obat dan dia berikan kepada Anjani.

Anjani menggeleng. Dia menjauhkan pil itu darinya. Hal itu membuat Bi Nilam turun tangan. Bi Nilam mencoba untuk merayu Anjani. "Non, jangan kayak gitu. Kasihan Non Asya. Dari kemarin dia mikirin Non terus, loh. Ayo minum obat dulu biar badannya cepet sehat."

Anjani bergeming.

Bi Nilam menghela napas panjang. "Non ...."

Asya menoleh lalu menggeleng. Memberi isyarat agar Bi Nilam tidak memaksa Anjani lagi. Bi Nilam mengangguk. Asya menunduk sambil melihat obat milik Anjani.

"Tadi malem Ayah pulang."

Ajaib. Hanya mendengar kalimat itu saja berhasil membuat Anjani menoleh. Gadis itu sudah tidak melamun. Tatapannya justru semakin dalam. Menuntut Asya untuk segera menjelaskan lebih lanjut.

Asya tersenyum. "Tapi sekarang Ayah udah pergi lagi."

Anjani diam dengan sorot yang tidak dapat diartikan. Tatapannya jatuh pada kedua pipi adiknya yang sedikit lebam. Anjani mencoba menerka-nerka apa yang telah Ayahnya perbuat pada Asya. Apakah Ayahnya itu kembali melakukan tindak kekerasan?

"Lo diapain lagi sama Ayah?"

Itu suara Anjani. Gadis itu sudah mau membuka suaranya. Namun bukan pertanyaan itu yang Asya inginkan. Tentu saja Asya tidak akan menjawab dengan jujur, kan? Asya tidak mau kalau Anjani tahu nanti dia malah tambah membenci Gautama.

Jadi yang Asya lakukan hanya menggeleng. Tidak lupa dengan senyuman lebar untuk semakin meyakinkan Anjani. "Nggak diapa-diapain kok. Emangnya kenapa? Kakak khawatir ya sama aku? Cie ...." Asya tersenyum jahil. Tidak peduli saat raut wajah Anjani mulai berubah.

"Gue serius. Lo diapain sama Ayah?"

Senyum Asya luntur. "Aku nggak pa-pa, Kak."

"Gue nggak nanya lo kenapa. Tapi yang gue tanya, Ayah ngapain lagi sama lo? Dia nampar lo? Dia mukul lo lagi? Jangan coba-coba mau bohong sama gue, Sya. Nggak usah ditutupin."

Asya kalah telak. Dia hanya bisa diam dan menunduk. Asya tidak berani melihat wajah Anjani sekarang. Asya tahu kalau Anjani sedang menahan emosi. Setiap kali Asya menyebut kata Ayah, maka Anjani tidak pernah suka. Bukan maksud Asya untuk memancing Anjani, namun dia hanya ingin memberitahukan. Tidak lebih.

"Bilang sama gue Ayah ngapain sama lo. Lo ditampar?"

Asya mengangguk.

"Terus diapain lagi?"

Asya menggeleng.

Anjani mengembuskan napas panjang. Bi Nilam mengusap punggung Asya, bermaksud untuk memberinya kekuatan namun yang terjadi Asya justru berteriak kesakitan. Hal itu membuat Bi Nilam tersentak dan Anjani yang semakin curiga.

Epiphany (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang