EP 18 🥀

50 14 2
                                    

Karena kejadian tadi membuat suasana antara Asya dan Bagas menjadi canggung. Mereka berdua kini sedang duduk di sebuah taman yang pernah Asya datangi bersama Anjani. Tempat di mana dia melihat seorang Kakek tua yang dimarahi oleh gadis berusia muda. Mengingat itu membuat Asya kembali tersenyum kecut.

Asya menoleh saat mendengar embusan napas kasar Bagas. Dia mengernyit. "Kenapa lo? Marah sama gue gara-gara gue bawa ke tempat tadi?" tanyanya.

Bagas menoleh dan langsung menghadiahi Asya dengan tatapan tajam. Ia meludah ke samping. "Jelaslah! Siapa coba yang nggak marah kalo orang lain asal narik-narik tangan kita dan bawa kita pergi? Itu namanya nggak sopan! Lo punya attitude nggak, sih?" semprot Bagas.

Asya mengangguk. "Punya."

Bagas mendengus. "Kalo punya ya dipake! Jangan cuman jadi pajangan doang dong! Udah tau gue paling nggak suka kalo orang lain narik-narik bahkan megang tangan gue. Dan lo dengan seenak jidat malah bawa gue pergi. Mana motor gue masih di sekolah lagi. Ah! Lo mah emang bener-bener nyusahin orang!" Bagas mengacak rambutnya frustasi.

Asya menunduk. Memilin bajunya sambil berkata lirih, "Motor lo sebentar lagi mau dianter ke sini kok. Udah dibenerin sama Abang bengkelnya. Tadi gue yang nelpon."

Bagas menoleh. Ia bingung untuk berucap bagaimana. Sebenarnya Asya itu maunya apa, sih? Apa sekarang dia mau mempermalukannya karena tidak mampu membawa motornya sendiri ke bengkel? Hah! Bagas muak dengan semua ini.

"Harusnya lo nggak usah repot-repot telponin orang bengkel buat benerin motor gue! Kalo kayak gini caranya, kan jadi gue yang repot! Berapa biayanya biar gue ganti."

Percayalah, dalam hati Bagas berdoa semoga biayanya tidak mahal. Tentu saja Bagas hanya mempunyai uang pas-pasan. Dan kalau harganya itu mahal bisa mampus nanti dia. Bisa-bisa nanti Asya menertawakannya karena tidak punya uang.

Asya menggeleng pelan. Dia tersenyum hangat. "Nggak usah diganti. Gue ikhlas kok bantu lo. Lagian lo, kan temen gue. Udah seharusnya sesama temen itu saling menolong, kan?" Asya memiringkan kepalanya sambil menaik-turunkan alisnya.

Bagas berdecak. "Tapi lo bukan temen gue!"

Asya terkekeh pelan. "Iya gue tau. Kan gue bilangnya lo yang temen gue, bukan gue yang temen lo. Mau lo anggep gue temen atau musuh pun gue nggak peduli, Gas. Yang terpenting adalah gue selalu anggap lo sama kayak Bayu. Temen seperjuangan gue."

Bagas diam. Entahlah ia pun merasa bingung sekarang. Jangan salah sangka dulu. Bagas tidak sedang memikirkan Asya kok. Ia sedang memikirkan uang ganti kepada Asya. Kira-kira berapa, ya, jumlahnya? Ah, nanti Bagas tanya sama Abang bengkelnya saja biar tahu berapa harga untuk menambal ban sepeda motornya.

"Nah, itu motor lo udah dateng."

Bagas menatap ke arah depan di mana dua sepeda motor menghampiri mereka. Motor yang satunya tentu saja milik Bagas. Bagas masih mematung di tempat sedangkan Asya sudah berdiri. Setelah mengucapkan terimakasih, Abang bengkel itu pergi bersama dengan temannya.

"Sana pulang. Motor lo udah bener kok, tenang aja." Asya kembali bersuara.

Bagas diam-diam melirik Asya. Ia tidak tahu harus mengucapkan terimakasih atau tidak. Bagas gengsi. Ia terlalu malu untuk mengucapkan kata itu kepada Asya. Berat sekali rasanya.

Akhirnya yang bisa Bagas lakukan hanyalah membuang napas kasar. "Sya. Berapa uang gantinya biar gue ganti uang lo! Gue nggak mau, ya, punya utang sama orang yang gue benci."

Senyum Asya memudar digantikan dengan raut redupnya. Dia tersenyum tipis. "Gimana kalo sebagai gantinya, gue nebeng lo sampai rumah. Boleh, ya? Sekali ini doang kok."

Epiphany (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang