EP 9 🥀

61 17 7
                                    

Hari semakin sore. Namun kedua kakak beradik itu belum juga pulang. Asya memilih untuk membawa Anjani berkeliling kota setelah sekian lama Anjani mengurung dirinya di dalam kamar. Dan hari ini, Anjani dapat menghirup udara segar lagi berkat Asya. Dan Anjani juga mendapat pelajaran hidup setelah berkunjung ke Panti Asuhan Kasih.

Beruntung sekali hari itu adalah tanggal merah. Sekolah libur dan hari kerja pun libur. Entah kenapa Rendra selaku pemilik kafe memilih untuk ikut meliburkan karyawannya daripada menyuruh mereka untuk tetap bekerja di tanggal merah. Padahal setahu Asya, tanggal hitam atau pun tanggal merah tetaplah sama. Hanya berbeda pada tanggal merah tertentu saja.

Asya membawa Anjani untuk duduk menepi. Hari memang sudah sore, namun matahari di atas sana masih sama teriknya saat siang tadi. Membuat kepala Asya sedikit pusing dibuatnya. Dia duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Punggung tangannya mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat. Melihat itu, Anjani memberikan sapu tangan miliknya kepada Asya.

Awalnya Asya terpaku. Namun setelah beberapa detik dia tersenyum tipis. Asya menerima sapu tangan itu. Sambil mengelap keringatnya dia juga berterimakasih kepada Anjani karena telah meminjamkannya sapu tangan. Untuk kali pertamanya Anjani mampu tersenyum kepada Asya.

"Lo pasti capek, ya, dorongin gue terus?"

Pertanyaan itu berhasil membuat pergerakan Asya terhenti. Gadis itu menurunkan tangannya lalu menatap dalam manik mata Anjani. Dia melipat sapu tangan Anjani lalu menggeleng. "Enggak kok. Aku nggak capek harus dorongin Kakak terus. Justru aku malah seneng."

"Kenapa?"

"Karena dengan begitu aku bisa lama berdua sama Kakak. Kan, aku udah lama banget nggak jalan-jalan kayak gini sama Kak Anjani. Hehehe." Asya terkekeh kecil.

Anjani tersenyum kecil. Harusnya dia bersyukur karena mempunyai adik seperti Asya. Asya itu sangat perhatian terhadap dirinya. Asya mau melakukan apapun yang Anjani minta. Asya selalu rela saat Anjani meluapkan emosinya padanya. Dan Asya selalu menomorsatukan dirinya. Harusnya Anjani bersyukur karena itu. Namun kenapa dia malah menyia-nyiakannya?

Sesaat sekelebat ingatan suram muncul dalam benaknya. Di mana saat dia memperlakukan Asya dengan tidak semestinya. Di mana saat dia melontarkan kalimat-kalimat kasar yang mungkin membuatnya sakit hati. Di mana saat dia mendorong, mencakar, bahkan menampar Asya hingga gadis itu menangis. Di mana saat dia mengabaikan setiap perhatiannya. Semua ingatan itu bermunculan satu per satu.

Anjani tahu kalau perbuatannya itu sangatlah buruk. Apa lagi sebagai seorang Kakak yang seharusnya melindungi adiknya, dan Anjani malah menyakitinya. Bukan hanya secara fisik, namun juga secara mental Anjani telah menyakiti Asya. Kepingan penyesalan mulai menyelimuti dirinya. Rasa takut akan kehilangan bergejolak di dalam dirinya. Rasa sakit yang pernah dia rasakan dulu kini kembali terulang. Dan kini, Anjani takut kalau sampai kehilangan Asya. Kehilangan untuk selama-lamanya.

"Sya?"

"Ya?"

"Kenapa lo bawa gue ke panti?"

Asya menoleh. Dia tersenyum jahil sambil berkata, "Aku kira Kakak udah tahu alasan kenapa aku bawa Kakak ke panti. Ternyata belum, ya?"

Anjani menggeleng. "Gue pengen dengar dari lo langsung kenapa lo bawa gue ke panti."

Masih dengan senyuman manisnya, Asya menjawab, "Aku bawa Kakak ke panti pasti ada tujuannya. Nggak mungkin, kan, kalau aku bawa Kakak ke panti cuman kayak gitu doang?"

"Terus apa tujuannya?"

Anjani gemas karena mendengar jawaban Asya yang terkesan berbelit-belit. Sebetulnya Anjani sudah tahu apa tujuan Asya membawanya ke panti. Namun Anjani ingin mendengar langsung dari Asya alasan mengapa dia membawanya ke Panti Asuhan.

Epiphany (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang