Tidak ada perasaan lain kecuali rasa cemas yang sekarang sedang dirasakan oleh Anjani. Dia tahu kalau Asya itu sedang demam. Sebab semalam dia pulang hujan-hujanan begitu membuatnya jatuh sakit. Anjani ingin keluar dari kamar dan melarangnya untuk pergi ke sekolah. Namun tidak bisa.
Dan sekarang Anjani telah menyesal. Menyesal karena dia telah membiarkan adiknya untuk tetap pergi ke sekolah dengan keadaan sakit seperti itu. Anjani tidak mau kalau Asya sampai kenapa-kenapa. Dia takut. Dia takut kehilangan Asya.
Awalnya Anjani pikir Asya tidak akan mudah jatuh sakit seperti dugaannya. Namun ternyata tidak. Asya sakit bahkan setelah pulang kehujanan dan itu pun masih menggunakan payung.
Anjani menghela napas panjang. Dia mendorong kursi rodanya agar lebih dekat dengan Bi Nilam yang sedang menyiram tanaman. Sedari tadi hatinya tidak tenang memikirkan kondisi Asya.
"Bi, tadi Asya sarapan nggak?" tanya Anjani sambil menatap bunga yang sudah basah diguyur air.
Bi Nilam menggeleng. Tidak mengalihkan atensinya pada bunga-bunga di hadapannya. "Enggak, Non. Dia nggak sarapan. Tadi Bibi udah suruh dia buat sarapan tapi dianya nggak mau."
Lagi, Anjani dibuat pusing karenanya.
"Gimana, ya, Bi? Anjani khawatir sama Asya. Dia tadi keliatan kaya pucet banget. Dia lagi sakit, kan, Bi?"
Bi Nilam menghentikan pergerakannya. Dia lalu menatap Anjani. "Iya, Non. Non Asya lagi sakit. Semalem aja dia ngigau, Non. Manggil-manggil Ibu terus. Bibi, kan, jadi kasihan sama Non Asya. Tadi Bibi udah larang dia buat berangkat tapi dia tetap mau berangkat. Katanya hari ini dia ada ulangan jadi dia nggak bisa izin sekolah."
Ini yang tidak Anjani suka dari diri Asya. Dia selalu lebih mengutamakan kepentingan yang lain dari pada dirinya sendiri. Bahkan di saat dirinya sedang tidak sehat pun dia masih memikirkan hal-hal yang lain.
"Asya itu emang keras kepala banget, Bi. Anjani tuh pengen ngelarang Asya buat nggak usah berangkat sekolah dulu, tapi Anjani nggak bisa. Susah banget Anjani kalau mau ngomong sama Asya." Keluh Anjani.
Bi Nilam tersenyum hangat. Dia berjongkok sambil menggenggam tangan Anjani. "Bibi tahu jauh di dalam lubuk hati Non itu sebenernya Non sayang banget sama Non Asya. Cuman Non masih bingung gimana cara ngungkapinnya. Non terlalu memikirkan resiko-resiko yang akan terjadi sampai-sampai Non menutup hati untuk melihat Non Asya."
Anjani termenung. Dia membenarkan perkataan Bi Nilam. Dalam hatinya dia memang sayang sekali dengan Asya. Namun dia bingung bagaimana untuk mengutarakan perasaan yang sesungguhnya kepada Asya.
"Dengan Non Anjani sudah menunjukkan sifat khawatir kayak gini aja Non Asya pasti udah seneng banget. Bahagianya Non Asya itu sederhana, Non. Kalau lihat Non Anjani bahagia, seneng, Non Asya juga ikut seneng. Begitupun sebaliknya.
"Non jangan ngelihat dari kesempurnaan yang Non Asya punya saja. Tapi Non juga harus lihat gimana dia berjuang selama ini untuk membuat hati Non Anjani luluh. Dia manusia biasa, Non. Kita semua manusia biasa. Nggak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah semata."
Usai mengatakan kalimat panjang itu, Bi Nilam tersenyum. Dia membelai rambut Anjani. Bi Nilam beranjak dari sana. Membiarkan Anjani untuk meresapi setiap perkataannya. Bukan maksud memaksa. Hanya saja Bi Nilam ingin membantu memperbaiki hubungan kakak-beradik itu.
Anjani menatap halaman depan rumahnya dengan tatapan kosong. "Gue tau kalo selama ini gue udah berbuat salah sama Asya. Gue juga tau kalo selama ini gue udah jahat sama dia. Tapi gue bingung. Gue bingung harus gimana. Gue belum siap kalo misal gue berbaikan sama dia. Buat nyapa dia aja rasanya berat." Anjani bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (✓)
Ficção AdolescenteEPIPHANY. Epiphany adalah sebuah kejadian atau momen yang terjadi dalam hidup dan mampu mengubah jalan hidup atau pemikiran seseorang. Ini kisah tentang Anjani dan adiknya-Asya. Mereka berdua hidup dengan sebuah perbedaan yang mampu membuat mereka m...