Karena lelah menjaga Anjani, Asya sampai tertidur di sampingnya dengan posisi tangan yang menggenggam. Anjani masih belum sadar sampai sekarang. Bi Nilam yang melihat Asya masih mengenakan seragam sekolah pun lantas membangunkannya. Meskipun dalam hatinya dia tidak tega saat melihat wajah lelahnya.
"Non, bangun dulu."
Asya menggeliat. Dia mengerjapkan matanya. Dia langsung menatap Anjani lalu mengembuskan napas panjang. "Kak Anjani belum bangun, ya, Bi?"
Bi Nilam menggeleng. "Belum, Non. Lebih baik sekarang Non Asya pulang dulu gih. Ganti baju sama makan malem dulu. Tadi Bibi udah masak kok di rumah. Biar Bibi yang gantian jaga Non Anjani."
Asya menolak. "Nggak mau, Bi. Asya mau di sini aja jagain Kak Anjani. Nanti kalau Kak Anjani kenapa-kenapa gimana? Asya takut, Bi."
"Nggak akan terjadi apa-apa sama Non Anjani, Non. Percaya sama Bibi. Sekarang Non pulang mandi, ganti baju, makan, terus tidur. Ya? Biar Non Asya besok semangat dan nggak lemes. Jadi Non Asya bisa jenguk Non Anjani lagi. Oke?" Bi Nilam memegang pundak Asya.
Asya menunduk. Dia mengangguk pelan. Tatapannya kembali jatuh pada Anjani yang masih terpejam. "Janji, ya, Bi jagain Kakak. Aku nggak mau kalo Kak Anjani sampai kenapa-kenapa. Nanti kalo Kak Anjani udah bangun, Bibi harus langsung telepon aku. Oke?"
Bi Nilam mengangguk mantap. "Siap, Non."
Asya tersenyum tipis. Dia bangkit dan meraih tasnya. Sebelum keluar, dia sempat melirik ke arah Anjani sebentar. Dia membatin dalam hati.
Cepet bangun, ya, Kak.
Setelah itu, Asya menghilang dari balik pintu. Gadis itu berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang terasa sangat panjang baginya. Melamun. Asya berjalan sambil melamun hingga tidak sadar dia telah menabrak seseorang. Asya meminta maaf meskipun tadi sempat dimarahi oleh orang itu.
Pikiran Asya sedang kacau. Dia menjadi tidak bersemangat. Apa lagi saat ini Anjani masih belum sadarkan diri. Membuat kecemasan Asya semakin bertambah berkali-kali lipat.
Asya sampai di depan rumah sakit. Sepedanya sudah tidak ada di sana, mungkin sudah dipindahkan di tempat parkir, pikirnya. Tanpa pikir panjang Asya segera berjalan ke tempat parkir. Benar. Di sana ada sepedanya. Dia mengambilnya dan mulai mengayuhnya dengan pelan.
Jalanan licin akibat hujan yang tadi sempat turun. Hawa dingin semakin terasa menusuk saat Asya tidak memakai lengan panjang. Suasana malam yang menyeramkan tidak membuat Asya takut. Toh, dia tidak sendirian di sana. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang di sekitarnya.
Asya menikmati setiap perjalanannya. Sambil memikirkan bagaimana caranya supaya Anjani bisa sembuh dari penyakit mentalnya. Asya tidak mau kalau suatu saat nanti, saat Anjani sedang kambuh dan dia tidak ada di sana Anjani melakukan hal-hal yang nekat.
Beberapa saat kemudian Asya sudah sampai di depan rumahnya. Senyumnya terbit saat melihat sebuah sepeda motor terparkir di sana. Namun perlahan senyumnya berubah saat mengingat sesuatu.
Asya memarkirkan sepedanya di samping motor itu. Dengan langkah gemetar, Asya berjalan dan membuka pintu. "Assalamualaikum." Sapaan pertama tidak mendapat sahutan apapun dari dalam rumah.
Saat Asya melangkah dan sampai di ruang tamu, di sofa dia melihat Ayahnya sedang duduk sambil berselonjor di atas meja dengan kulit kacang yang sudah berserakan dimana-mana. Di meja juga terdapat satu botol minuman keras. Asya menghela napas panjang. Namun sebisa mungkin dia tetap tersenyum.
"Hai, Ayah. Ayah kapan pulang?" tanya Asya dengan lembut. Berharap kalau Ayahnya akan membalasnya dengan sama.
Gautama—Ayah Asya—tersenyum sinis. Pria itu menunjuk Asya dengan lemas. "Lo bawa duitnya, kan? Gue tau lo punya duit banyak!" Gautama berbicara ngelantur. Sepertinya pria itu berada di bawah pengaruh alkohol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (✓)
Teen FictionEPIPHANY. Epiphany adalah sebuah kejadian atau momen yang terjadi dalam hidup dan mampu mengubah jalan hidup atau pemikiran seseorang. Ini kisah tentang Anjani dan adiknya-Asya. Mereka berdua hidup dengan sebuah perbedaan yang mampu membuat mereka m...