Malam harinya, Asya belum juga pulang. Gadis itu masih berjalan di trotoar dengan tangan yang menjinjing sepatunya. Seragam, sepatu, bahkan seluruh badannya telah basah dan kotor. Rambutnya lepek dan berantakan. Gadis itu tidak mempunyai waktu untuk membersihkan diri.
Asya menatap jalanan dengan tatapan kosong. Dia membiarkan telinganya mendengar suara bising kendaraan yang berlalu-lalang. Gadis itu tetap berjalan saat dia diklakson oleh seorang pengendara sepeda motor. Dia bahkan sempat dicaci saat hampir terserempet.
Asya berjalan tanpa arah tujuan. Seluruh tenaganya seperti terkuras habis. Dia tidak sanggup untuk pulang ke rumah sekarang. Dia tidak kuasa saat melihat kondisi Anjani yang kembali melemah.
Terkadang Asya berpikir, kenapa masalah selalu datang menimpanya? Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Satu per satu masalah mulai berdatangan. Dari yang kecil hingga besar. Satu masalah belum selesai, sudah ada masalah baru. Asya capek. Dia juga pengen hidup tenang seperti manusia lainnya.
Asya memegangi perutnya yang terasa lapar. Namun gadis itu pantang untuk pulang ke rumah malam ini. Biarlah dia menenangkan hati dan pikirannya walau sekejap. Dia ingin menikmati kesendiriannya untuk sementara waktu. Sampai perasaannya akan pulih dan sedikit lebih baik.
Jalanan yang basah dan licin membuat Asya sedikit kesusahan. Dia bahkan sampai terpeleset beberapa kali. Untungnya tidak jatuh. Langkahnya terhenti di depan sebuah warung kopi. Kedua matanya menyipit saat melihat seorang pria paruh baya yang sangat dia kenali.
Kedua matanya membulat. Tanpa pikir panjang, gadis itu berjalan menyeberang. Menghampiri warung itu dan juga pria yang dikenalinya. Melihat kedatangan Asya, pria itu lantas berdecak pelan.
"Ngapain lo ke sini? Bawa duit nggak?"
Pastinya kalian sudah bisa menebak bukan siapa orang itu? Dia Gautama. Pria itu sedang berjudi sembari mabuk-mabukan bersama dengan teman-temannya. Bahkan dua orang dari mereka sampai muntah-muntah akibat terlalu banyak minum.
"Ayah, pulang. Jangan main judi dan minum-minum kayak gini, Yah. Tolong pikirin nasib anak-anak Ayah." Ujar Asya dengan suara bergetar.
Gautama berdiri. Dia mendekatkan telinganya di depan Anjani seraya berkata, "Hah? Apaan gue nggak denger. Nasib anak-anak gue? Eh, asal lo tau, ya! Harusnya tuh lo yang ngasih duit ke gue setiap hari bukan sebaliknya! Gila lo!" Gautama bersendawa lalu tertawa.
Asya menggeleng tidak habis pikir. Ayahnya itu memang benar-benar keterlaluan. Dengan berani, Asya menarik lengan Ayahnya. "Yah, pulang! Aku sama Kak Anjani itu butuh Ayah! Ayah jangan kayak gini dong. Ayah itu, kan, kepala keluarga, sudah seharusnya Ayah menafkahi kami."
Gautama menghempas tangan Asya. Pria itu menatap nyalang putrinya karena sudah berani berkata seperti itu. Gautama tidak suka saat ada salah satu anaknya yang melawan bahkan membentaknya.
"Berani lo sama gue, huh?" Gautama semakin mendekat hingga membuat Asya ketakutan. "BERANI LO LAWAN ORANGTUA LO SENDIRI, HUH?!" teriaknya sampai Asya tersentak.
Plak!
Gautama menampar pipi Asya membuat gadis itu tersungkur. Beberapa teman Gautama menahannya saat Gautama akan menendang Asya. Gautama berontak. Dia menunjuk bahkan sampai meludahi Asya.
Asya sudah menangis. Dia bangkit berdiri dan berlari meninggalkan tempat itu. Berlari meninggalkan Ayahnya yang sudah seperti penjahat baginya.
"BAJINGAN! NGGAK USAH KABUR LO!"
Asya masih dapat mendengar suara teriakan Ayahnya. Dia menutup kedua telinganya. Asya berhenti saat dirasa langkahnya sudah cukup jauh. Asya memilih untuk duduk karena merasa lelah. Tenaganya semakin terkuras akibat kejadian tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany (✓)
Teen FictionEPIPHANY. Epiphany adalah sebuah kejadian atau momen yang terjadi dalam hidup dan mampu mengubah jalan hidup atau pemikiran seseorang. Ini kisah tentang Anjani dan adiknya-Asya. Mereka berdua hidup dengan sebuah perbedaan yang mampu membuat mereka m...