EP 22 🥀

44 14 0
                                    

Sudah tiga hari orang misterius itu menghilang dan tidak mengiriminya pesan lagi. Setelah katanya dia mau bertemu dengan dirinya kemarin, namun dia mengingkari janji. Asya sudah menunggu selama beberapa jam namun orang itu tak kunjung datang. Bahkan saat Asya me-spam orang itu pun tidak kunjung membalas.

Sudah tiga hari pula Asya hidup dengan bully-an. Seantero sekolah sudah tahu tentang berita yang dengan cepat menyebar luas itu. Asya tidak tahu kenapa orang-orang bisa sangat membencinya. Padahal jika dipikir-pikir, Asya tidak mempunyai kesalahan apapun kepada mereka.

Sekarang Asya sedang berada di depan cermin toilet di sekolahnya. Gadis itu sedang membersihkan seragamnya yang basah dan kotor akibat dilempari minuman jus. Asya mengembuskan napas lelah. Sampai kapan dia akan mendapatkan perlakuan tidak mengenakan itu?

Asya menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia tersenyum pahit. Saat Asya mulai memercayai orang misterius itu, saat Asya mulai terbiasa dengan kehadirannya, saat Asya menganggap bahwa orang itu adalah orang yang paling mengerti dirinya, namun ternyata dia salah.

Orang itu justru menghilang di saat dia terpuruk. Orang itu justru pergi entah ke mana saat dia membutuhkannya. Asya memang tidak tahu siapa dia. Namun Asya sudah mulai percaya kepada orang itu. Namun dengan secepat itu pula kepercayaannya dihancurkan.

Awalnya Asya berpikir apakah orang itu sengaja berbuat hal semacam itu? Memberinya pesan motivasi setiap hari dan setelah dia terjebak masuk, orang itu menghilang. Bahkan tanpa meninggalkan jejak apa-apa.

Asya melihat pergelangan tangannya yang membiru. Setelah kejadian di mana Ayahnya memukulinya, keesokan harinya Ayahnya kembali datang seperti janjinya. Ayahnya meminta uang dan Asya tidak memberikannya uang.

Seperti biasa, Gautama marah besar dan berbuat kasar kepada putrinya sendiri. Gautama menjambak, mencakar, bahkan sampai menginjak tangan Asya hingga lebam. Kejam memang. Tapi itulah kenyataannya. Asya sudah mulai terbiasa dengan luka-luka di fisik, bahkan di hatinya.

Asya menghela berat. Dia keluar dari toilet. Suasana koridor sedikit ramai. Asya sedikit takut untuk melewati lorong itu. Dia takut kalau nama Ayah dan Ibunya kembali menjadi bahan omongan serta bahan ejekan. Dia tidak kuat mendengarnya.

Dengan langkah ragu, Asya mulai berjalan melewati mereka. Dia menunduk saat satu per satu dari mereka mulai kembali menyindirnya. Tidak ada yang bisa Asya lakukan selain diam dan menunduk.

Sebenarnya Asya bisa saja melawan mereka dan bilang kalau apa yang mereka ucapkan adalah omong kosong. Namun melihat foto itu yang sangat jelas membuat Asya berpikir dua kali. Benarkah Ayah dan Ibunya adalah orang yang seperti itu? Tapi mengapa?

Asya bisa bernapas lega saat dia sudah sampai di dalam kelas. Dia langsung menghampiri Salwa. Percayalah kalau Salwa sempat marah dan tidak mau berbicara dengannya selama dua hari. Tentu saja Salwa kecewa. Dia ingin tidak marah, namun hatinya sakit saat sahabatnya terus tidak mau bercerita dengannya.

Namun kini hubungan mereka sudah lebih membaik. Perlahan Salwa mulai mengerti kondisi Asya. Meskipun orang itu telah menghilang entah kemana, setidaknya Asya masih mempunyai Salwa yang selalu mendukung dan melindunginya.

Bahkan di saat dia sedang di-bully oleh teman-temannya yang lain, Salwa siap menjadi pelindungnya. Salwa membalas perkataan mereka dengan tidak kalah kejamnya. Asya merasa bersyukur karena telah mempunyai sahabat seperti Salwa.

"Bagas sama Bayu masih belum masuk, Sal?" Asya bertanya saat dia sudah duduk di samping Salwa.

Gadis berkuncir kuda itu menggeleng. "Belum. Gue juga nggak tau mereka kemana. Padahal mereka janji mau ikut bantuin lo buat nyari tau siapa dalang di balik ini semua."

Epiphany (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang