Suara detik jam menambah kengerian di ruangan bercat putih bersih dengan kapasitas 30 orang mahasiswa ini. Satu temanku yang sedang presentasi tengah didakwa habis habisan karena salah mengucap nama salah satu rumus kimia. Posisi duduk mahasiswa membentuk leter U dan teman kami melakukan presentasi di depan, sedangkan dua orang dosen yang mengampu mata kuliah ini menyimak dengan duduk di tengah tengah kami, tepat di depan mahasiswa yang presentasi.
"Kamu ini ngerti atau tidak sih?"
Ucap salah satu dosen. Kacamatanya ia lepas sembari menatap tajam ke arah Rindi, teman kami yang tengah presentasi."Coba buka buku nya, buka. Lihat apa itu rumus kimia nya. Sudah mahasiswa masih suka asal bicara" dosen yang lain, menimpali. Sedang Rindi hanya mematung di depan kelas. Tangannya yang sudah bergetar mengambil buku yang tadi kugendong itu, dan membuka nya.
Ia hanya membuka buka buku itu panik. Matanya tengah berkaca kaca. Dua orang dosen masih menatapnya tajam. Ya, begitulah suasana presentasi di jurusanku. Kalau di SMA, presentasi adalah hal yang sangat menggembirakan, karena biasanya guru akan berucap, "nak, kalian presentasi ya. Ibu keluar sebentar. Jangan ribut", dan ternyata sang guru tidak juga kembali sampai jam pelajaran selesai, jangan harap kalian menemukan hal yang sama di jurusanku. Apalagi di matakuliah Kimia Organik seperti ini.
Presentasi adalah momok bagi kami semua. Sebab, di sini, tidak dilakukan secara berkelompok, tidak boleh mencari sumber dari internet kecuali jurnal internasional, tidak boleh mengambil referensi dari buku SMA, dan wajib mengambil dari buku induk yang kebanyakan berbahasa Inggris. Oh ya, satu lagi. Minimal harus dari 10 buku ! Mengelabuhi dosen? Jangan sekali kali. Sebab tiap kata bahkan akan dikoreksi, sampai ke daftar pustaka. Temanku pernah menyelipkan salah satu sub materi dengan mengambil referensi dari internet. Ternyata link yang menjadi rujukan menyampaikan konsep yang salah. Dosenku tau lalu menanyakan darimana ia dapat teori itu. Sedangkan dia tidak mencantumkan sumber internet tadi di daftar pustaka. Kau tau apa yang terjadi ? Dua jam penuh kami semua mendapatkan ceramah dari dosen tersebut. Ah mantap kan?
Rindi masih membolak balik halaman buku tebal di depannya.
"Sudah lihat buku apa masih tidak bisa?" Kata dosenku tajam.
Dosen yang lain membereskan buku buku miliknya.
"Sudahlah bu, dicukupkan saja. Begini saja tidak bisa, padahal sudah bukan anak SMA"
"Mahasiswa jaman sekarang ini, ditanya apa apa tidak pernah tau. Padahal nilai raportnya selangit. Begitu ditanya hal dasar ya begini ini ekspresinya." Ucapnya lagi.
Rindi hanya mematung. Matanya semakin merah menahan tangis. Wajahnya pucat. Sepertinya ia lemas sekali.
"Yasudah. Kamu belajar lagi saja. Kalau masih ada waktu, kamu presentasi ulang setelah temanmu yang terakhir. Kalau sudah tidak ada waktu, berdoa saja supaya ada nilai lain yang membuat kamu lulus" ucap dosen satu lagi, sambil ikut membereskan tasnya. Dua dosen itu kemudian keluar.
Saat sampai di daun pintu, dosen perempuan yang berkacamata membalikkan badan. Mata Rindi terbelalak agak berbinar. Berharap ada secercah harapan. Tapi pupus. Sebab mata dosen itu justru diarahkan ke arahku.
"Tara Sekar Maheswari"
Aku yang tadi masih memikirkan nasib Rindi, mendadak seperti tersengat setrum sebab namaku dipanggil. Sebetulnya hanya dipanggil nama, ibuku pun sering memanggilku, tapi kalau sudah dosen yang manggil, aku selalu saja gugup. Apalagi dosen yang beberapa menit lalu membuat kami sekelas tegang bukan kepalang.
Aku, dengan gugup menjawab panggilan dosen
"I.. i.. iya bu""Kamu PJ mata kuliah kimia organik?"
"Iya bu, benar. Saya penanggung jawabnya untuk kelas ini" jawabku lagi.
"Nanti ke ruangan saya. Ambil kisi kisi untuk kuis minggu depan."
Gubrak. Kami semua bagai tersambar petir. Kuis? Minggu depan? Uwah !!
"Ba.. baik bu." Ucapku lagi. Dua dosenku berlalu meninggalkan kelas kami.
Rindi, airmata nya pecah berhamburan. Gadis itu menangis di depan kelas. Kami menghambur menenangkannya. Ada yang mengusap pundaknya, ada yang memeluknya, ada yang memberikan motivasi, dan lain lain.
Aku, lebih memilih membantu Rindi merapikan buku buku nya. Mensave data yang tadi dipresentasikan dan mematikan laptop milik Rindi, kemudian membereskan LCD. Oh ya, aku punya sisa cokelat di dalam tas yang niatnya mau kumakan tadi malam. Ku ambil cokelat itu dan kuberikan kepada Rindi supaya bisa sedikit menghiburnya.
Ia, dengan mengucak matanya yang merah dan suara serak, mengucapkan terimakasih kepadaku.
Di ambang pintu, terdengar suara yang memanggilku
"Ra..!"
Aku menoleh. Ternyata Arumi, sahabatku.
"Eh rumi. Masuk sini" kataku. Arumi Zeline Permata, sahabat karibku sejak SMP. Kami selalu satu kelas sampai lulus SMA. Saat kuliah pun, kami satu kampus. Hanya berbeda jurusan. Sahabatku itu kuliah di jurusan Ilmu Hukum.
Arumi memang agak beda, begitu pikirku saat itu. Sebab sejak kuliah ini, penampilannya berubah drastis. Ia selalu mengenakan gamis, berkerudung lebar, dan kata katanya santun sekali. Perubahan itu terjadi semenjak dia ikut lembaga dakwah atau apalah itu. Berbeda sekali denganku yang kadang kadang masih menggunakan celana kulot dan kemeja tiga per empat lengan ke kampus. Sebenarnya Arumi sempat mengajakku untuk ikut Lembaga Dakwah Kampus. Tapi saat itu aku menolak. Bukan aku tak suka, hanya saja aku sudah terlanjur mengikuti Komunitas Sastra Kampus. Dan kegiatannya cukup padat. Alhasil kami memilih UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berbeda.
"Hey, sudah makan?" Tanya Arumi sambil membantuku membereskan dan mengangkut lima buku keramat yang harus ku kembalikan ke perpustakaan.
"Itu pertanyaan macam apa? Ya belum dong" Ucapku sambil memiring miringkan alis. Energiku habis di mata kuliah organik ini. Untung saja setelah ini tidak ada mata kuliah lain.
Arumi tertawa melihat ekspresiku yang mungkin seperti mayat hidup?
"Yasudah, setelah kita kembalikan bukunya, kita makan. Katanya ada warung soto baru di kantin. Mau coba?""Ah soto? Gila, berdosa kalau tidak dicoba!" Kataku antusias. Soto adalah makanan favoritku. Ah, jangan jangan ilerku keluar. Pikirku sambil mengecek di sekitar mulut dan pipiku dengan tangan
"Hey. Sembarangan. Jangan main main sama kata kata dosa. Makan soto kan nggak ada syari'atnya. Masa di dosa2in yang nggak makan"
Ucap Arumi mengoreksi perkataanku. Seperti yang kubilang tadi, ia memang agak beda semenjak ikut lembaga dakwah. Kata katanya cenderung lebih lurus dan sering mengingatkanku. Aku sih, tak masalah. Malah suka. Jadi ada alarm saat aku berbuat salah, hehe."Iya ustadzah, afwan ustadzah. Yasudah saya lapar ustadzah" kataku kemudian sambil menangkup nangkupkan tanganku seperti seorang pendosa yang dibalas gelakan tawa oleh Arumi.
"Haha. Yaudah, yuk kita makan sama kakak Arumi yang baik ini" ucapnya narsis. Aku mendatarkan ekspresiku untuk menunjukkan betapa 'iyuh' nya kata katanya. Lalu kami tertawa bersama. Menyusuri tangga gedung yang besar ini, mengembalikan buku ke perpustakaan dan beranjak ke kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengikhlaskan Kenangan
RomanceBagaimana jika, janji dua orang - aku dan dia - yang telah terpahat dan terikrar tanpa ragu, berakhir dengan secarik undangan tanpa namaku di dalamnya ?