(24)

90 14 4
                                    

Adzan ashar berkumandang. Aku masih di tempat yang sama sejak dua jam lalu. Di dalam mobil yang kuhentikan di jalan sepi. Kiri dan kanan hanya ada rindang pepohonan. Aku memang butuh tempat seperti ini untuk benar benar sendiri.

Mau tak mau, aku harus menerima kenyataan. Beginilah akhir kisah dari penantian yang selama ini kutimang timang. Beginilah akhir dari cinta yang selama ini kurawat dan kujaga.

Begini lah, akhir dari rasa bahagia yang selama ini Reiza taburkan di atas hatiku.

Reiza dan Arumi. Cocok memang. Aku tertawa getir. Perih semakin menggerogoti hatiku yang memang telah hancur.

Tapi, apa yang bisa kuubah ?

Ponselku berdering. Ini sudah dering panggilan ke dua puluh sejak dua jam lalu.

Reiza.

Dipikir pikir lucu juga. Dua bulan ini dia mengabaikan pesanku, saat aku masih percaya padanya.

Dan sekarang, berpuluh kali dia mencoba menghubungiku, saat tak ada seinci pun kenyataan yang akan berubah. Saat tak ada sekeping pun hati yang mampu dia perbaiki.

Dia juga mengirimiku pesan.

Reiza : ra.. tolong, dengar dulu penjelasanku.
Reiza : maafkan aku, Tara.
Reiza : ra..
Reiza : aku tetap akan menunggumu sampai mau mendengarkanku
Reiza : aku di rumahmu.

Gila !

Dia sudah membuat hatiku porak poranda. Dan satu permintaanku, untuk tidak pernah lalu lalang di hadapannya atau melihatnya lalu lalang di hadapanku pun, sesulit itu kah dia kabulkan ?

Aku membalas pesan singkatnya : kalau masih menghargai perasaanku, pergi dari rumahku. Aku nggak akan pulang sebelum kamu enyah.

Aku memblokir nomornya. Melajukan mobilku menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat ashar.

Malam pun, kalau dia masih di rumah ku, aku akan menginap di tempat lain. Aku tidak akan sanggup melihat wajahnya lagi. Mau sehancur apa lagi hati ku?

Setelah sampai di masjid, aku melaksanakan sholat ashar. Air mataku tidak hentinya mengalir.

Allah.. berat sekali rasanya.

Aku diam di masjid sampai waktu isya tiba.

Ibuku menelfonku.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam bu"

"Kok belum pulang? Lagi dimana?"

Tanya ibuku khawatir.

"Di masjid bu."

"Reiza tadi ke rumah"

Aku sudah tau, ibu

"Oh ya ? Wah."

"Emang gak ngubungin kamu?"

"Ngubungin sih bu"

"Terus, kenapa nggak ditemui? Lagi ada masalah ya?"

"Em... Enggak kok bu. Tadi lagi ada yang dikerjakan hehe"

"Sesibuk apapun, kalau didatengin temen dari jauh, jangan gitu dong. Kasihan dia nunggu sampe berjam jam di sini"

Justru kalau kutemui, hati anakmu ini akan semakin hancur lebur, bu.

"Hehe. Iya deh besok besok kalau ada temen jauh, Tara langsung cusss nemuin. Reiza udah pulang bu?"

"Udah.. tadi Reiza juga pesen sama ibu untuk nelfon kamu, ngabarin kalau Reiza udah pulang"

Syukurlah.

"Iya ini Tara siap siap pulang kok. Yaudah ya bu, Assalamu'alaikum"

"Hati hati di jalan. Wa'alaikumussalam"

Aku menutup panggilan, menaruh ponsel di tas dan bersiap siap untuk pulang.

Inilah, inilah jawaban dari tanda tanya yang selama ini bersarang di benakku.

Semua sudah berakhir.

Reiza pun, tidak sepenuhnya salah. Dari awal aku faham betul, hubungan kami adalah hubungan yang salah.

Darimana, Islam membolehkan berdua duaan, bermesraan meski dalam ponsel, memberi perhatian lebih, pada dua orang yang belum halal ?

Dan, ternyata, di titik inilah, aku menyadari kesalahan besar yang telah kuperbuat.

Ada getir baru dalam dadaku. Kali ini tak hanya karena Reiza. Tapi karena rasa maluku yang teramat besar, kepada Allah.

Aku telah menduakan cinta-Nya. Aku yang mengaku telah berhijrah ini, nyatanya tidak beda dari aku empat tahun lalu.

Aku yang menolak kak Barra dahulu dengan alasan tidak mau pacaran, nyatanya bukan karena Allah. Tapi hanya karena aku tidak menyukainya

Sebab ternyata, saat ungkapan cinta itu datang dari orang yang juga kucintai, aku masih goyah.

Ampuni aku yang fasik ini. Allah.

Detik ini, di masjid yang penuh kedamaian ini, aku berjanji pada diriku, dan pada Tuhanku.

Aku, tidak akan lagi percaya pada lelaki manapun, tidak akan lagi menerima cinta lelaki manapun, yang belum berjabat tangan dengan waliku, dalam ijab qobul.

Aku, tidak akan berramah tamah dengan lelaki manapun, agar jangan sampai mampu membuatnya menaruh hati padaku bersebab keramahanku.

Aku ingin dicintai, tapi bukan lagi bersebab hal apapun selain iman, taqwa, dan izzah yang kupunya.

Kuatkanlah, Allah.

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang