(12)

75 11 1
                                    

Aku berjalan di belakang kak Harun sambil sesenggukkan. Sepertinya tadi aku menangis terlalu kencang, sehingga saat sudah berhenti pun, sesenggukkannya belum hilang.

"Akhwat memang sepantasnya pulang sebelum maghrib"

Ucap kak Harun dingin. Aku hanya diam. Tidak kuat tenagku untuk bicara.

"Dan sepantasnya tidak bersama dengan yang bukan mahram di dalam ruangan hanya berdua saja"

Aku masih diam. Benar, sih. Tapi kalau aku bicara, yang keluar hanyalah suara tikus kejepit. Suaraku serak karena habis menangis.

"Bawa ponsel?"

Tanya kak Harun, membalikkan badannya ke arahku. Aku mengangguk.

"Telfon temanmu, minta untuk jemput. Saya di masjid bagian ikhwan. Kalau temanmu nggak bisa jemput, bilang ke saya. Nanti saya minta Sarah untuk jemput. Kamu anggota baru LDK yang salah masuk ruangan itu kan?"

Sempet sempetnya, ya!

Aku mengangguk lagi.

Sampai di masjid, aku mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat maghrib yang hampir habis waktunya ini dengan menangis sejadi jadinya.

Aku takut, menyesal, merasa bersalah.

Arumi yang tadi telah kutelfon, ternyata sudah sampai dan menepuk pundakku yang masih saja menangis.

"Maafin aku, Tara.. maafin aku nggak bisa jaga kamu"

Arumi ikut menangis. Tidak. Arumi tidak salah. Aku yang salah karena menyembunyikan semuanya.

Aku masih saja menangis. Tidak bisa menjawab sepatah katapun. Kami menangis bersama.

Tak lama, mba Sarah ikut datang menghampiri kami, dan memeluk kami berdua.

"Adik mba, shalihaaa.. nggak papa yaa. Udah. Cup cup.."

Mba Sarah mengelus pundakku dan mencoba menenangkan.

Kami pulang setelah sholat isya dengan diantar oleh mba Sarah menggunakan mobil. Motor Arumi dititipkan ke Reiza yang kebetulan saat itu sedang berada di masjid. Arumi juga habis menangis, sehingga lemas sepertiku.

Sampai di kosan, aku masuk ke dalam kamar. Menangis lagi.

Aku membuka ponsel dan memblokir nomor kak Barra dari ponselku. Mau tidak mau, aku harus keluar dari komunitas sastra.

Tak lama, dering ponselku berbunyi. Kali ini bukan pesan singkat, melainkan panggilan suara. Tertulis nama 'Reiza' di sana.

Aku menekan tombol hijau malas.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam. Ra, kamu nggak papa?"

"Alhamdulillah"

"Tadi kak Harun udah cerita"

"Iya"

"Ra, jangan sedih"

"Enggak kok"

"Bener?"

"Bener"

"Udah makan?"

"Udah"

"Perasaan belum deh"

"Sok tau"

"Oke deh kalau udah. Mau istirahat?"

"Iya"

"Yaudah. Jangan lupa sholat subuh. Kalau ada apa apa hubungi aku"

"Ngapain aku hubungin kamu, kan ada Arumi"

"Motor Arumi kan di aku."

"Yaudah iya. Kututup telfonnya. Assalamu'alaikum"

Aku menutup panggilan sebelum Reiza membalas salamku, dan tertidur.

Pukul 3.00 dini hari, aku dibangunkan oleh ponsel yang berdering. Aku takut bukan main, khawatir yang menelfon adalah kak Barra. Aku masih trauma.

Tapi kekhawatiran itu lenyap saat kulihat nama Reiza tertulis di ponselku.

Eh tapi ya, nelfon malem malem gini tuh gak manusiawi banget gak sih ?!

"Halo"

"Assalamu'alaikum Tara"

"Wa'alaikumussalam. Apa?"

"Sholat tahajud"

"Hah?"

"Udah sholat tahajud?"

"Belum"

"Sholat dulu dih"

"Berisik"

"Eh, ukhti Tara diingetin kok malah marah marah?"

"Iya"

"Anak baik"

"hah anak baik? Sejak kapan kamu nikah sama ibuku?"

Ucapku sewot. Reiza malah terkekeh. Semakin membuatku sebal.

"Yaudah sana sholat dulu. Biar lebih tenang"

"Ya."

"Kututup telfonnya"

"Harus itu"

Dia terlekeh lagi.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Aku beranjak mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Benar saja kata Reiza, hatiku jauuuh lebih tenang setelah sholat.

Sebuah kenikmatan saat aku berbincang dengan Allah, dalam sujud yang panjang, saat semua orang terlelap.

Aku penuh dosa. Aku terlalu mudah. Aku bodoh. Karena itu lah, kejadian hari ini menimpaku. Aku memohon ampun kepada Allah..

Kak Harun. Aku belum sempat mengucapkan terimakasih.

Tapi, haruskah?

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang