Cintamu padaku
adalah kerinduan waktu
memeluk bisu di batu batu
saat gerimis jatuhCintamu padaku
adalah ketabahan matahari
tatkala menumbuhkan mawar
di nadi sunyiCintamu padaku
adalah keindahan purnama
kala meneteskan cahaya
pada laraCinta tanpa musim itu
memberi napas dan sayap
pada beribu puisi abadi
tentang kita:Pernahkah
kusampaikan padamu?(Helvy Tiana Rosa)
Aku mengakhiri pembacaan puisi dengan menundukkan kepalaku pertanda ucapan terimakasih. Riuh tepuk tangan menyambutku hangat. Bukan, ya. Aku bukan sedang berpuisi di atas panggung. Aku belum sehebat itu. Aku tengah berlatih membaca puisi di pendopo kampus, bersama teman teman komunitas sastraku. Tentu mereka bertepuk tangan, sebab memang semua yang latihan, entah bagus entah sumbang, selalu diberi tepuk tangan. Begitulah cara kami menghargai tiap usaha satu sama lain.
Kak Barra, ketua komunitas sastra, menghampiriku yang baru saja duduk setelah berlatih tadi. Saat ini giliran temanku yang lain, Swara, yang maju ke depan untuk membacakan puisi.
"Performa yang bagus, Tara"
Ucap lelaki berkemeja navi dengan celana jeans itu.
"Terimakasih kak, saya masih harus banyak belajar. Mohon bimbingannya"
Ucapku sopan, sembari menyunggingkan senyum.
"Selalu"
Balasnya lagi. Gingsulnya terlihat saat ia tersenyum. Lelaki yang hitam manis itu memang selalu enak dilihat. Hehe.
"Setelah ini, Tara ada kegiatan lain, atau langsung pulang?"
"Ada janji kak, dengan teman"
Siapa lagi, kalau bukan Arumi.
"Laki laki ?"
"Hehe. Bukan kak, perempuan."
"Syukurlah"
Aku sedikit bingung. Kok syukurlah? Namun belum lama sejak kebingunganku, kak Barra bertanya lagi.
"Janjian dimana? Mau kakak antar?"
"Di gedung sebelah kak. Terimakasih, tidak perlu. Kami janjian mau pulang bareng"
"Jadi janji nya cuma janji mau pulang bareng?"
Aku nyengir
"Iya kak"
Kak Barra setengah tertawa dan geleng geleng kepala.
Ya, memang janjiku dengan Arumi hanyalah janji untuk pulang bersama. Kami satu kostan walaupun beda kamar. Tapi itu tetap janjian kan namanya?
"Setelah pulang, ngapain?"
"Mungkin makan malam"
Ucapku. Ah mengucapkan kata 'makan' malah membuat perutku terangsang. Lapar.
"Makan malam nya sama temanmu juga?"
Aku mengangguk
"Kapan kapan, boleh nggak, kakak minjam waktu makan malam Tara sekali saja?"
"Maksudnya kak?"
Kak Barra memperbaiki posisi duduknya. Matanya mencari mataku.
"Boleh nggak, kalau kakak ajak Tara makan bareng?"
"Tapi kak, bukannya kita udah sering makan bareng?"
Makan bareng komunitas.
"Bukan makan bareng yang begitu, Tara"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengikhlaskan Kenangan
RomanceBagaimana jika, janji dua orang - aku dan dia - yang telah terpahat dan terikrar tanpa ragu, berakhir dengan secarik undangan tanpa namaku di dalamnya ?