(19)

73 11 4
                                    

Aku tengah merapikan meja kerjaku. Setelah lulus, aku belum sempat melanjutkan S2 sampai sekarang. Ibuku bilang, perusahaan lebih membutuhkan waktuku. Baiklah.

Sementara ini, aku memimpin bagian penelitian di perusahaan yang almarhum ayahku dirikan. Kakakku yang dokter menjadi pimpinan utamanya menggantikan ibuku yang mulai sepuh.

Sudah satu setengah tahun sejak kelulusanku.

Setelah ini, ada rapat dengan investor sebelum makan siang. Sepertinya akan selesai melebihi jam makan siang. Hah, maafkan umi ya, anak anak cacing di perutku. Lagi lagi aku harus menunda makan siang.

Aku berjalan lumayan cepat menuju mobil. Matahari terik sekali. Sinarnya memantul mengenai cincin mas putih yang aku kenakan. Cincin itu adalah hadiah yang Reiza berikan satu setengah tahun lalu, saat ia nekat terbang ke kosanku. Mirip ya, sama capung. Terbang ke sana terbang kemari.

Selama satu setengah tahun ini, hubungan kami baik baik saja. Masih berkirim pesan rutin, dan sesekali Reiza datang ke rumahku. Tentu saat lebaran. Atau saat hari dimana kami bertengkar hebat. Paling lama enam jam, dia pasti sudah di depan rumahku.

Pagi ini pun, ia masih mengingatkanku untuk sarapan. Dan aku memberinya semangat sebab ia masih sibuk menyusun tesis. Reiza telah memasuki semester akhir di kuliah magister nya.

Arumi, ia pun tengah melanjutkan studi magisternya, di kampus yang sama dengan Reiza. Irinya !

Aku dan Arumi juga masih sering berkirim kabar. Meski tidak seintens dulu. Iya sih, dia pasti sibuk.

Tingg... Pesan masuk.

Reiza : mau dong difoto makan siangmu.

Alamak. Dia pasti sedang mengecek apakah aku sudah makan siang atau belum.

Kubalas : nanti kukirim

Reiza : bukan karena Tara Sekar Maheswari belum makan siang kan?

Kalau kujawab belum, dia pasti akan mengomel. Entah ya, semakin hari perhatiannya semakin bertambah. Lama lama dia mirip ibuku.

Aku : hehe. Ada rapat siang ini. Nanggung. Nanti aku makan deh. Janji.

Reiza : ck. Beneran ya, makan. Jangan sampai bikin aku terbang ke sana lagi cuma untuk nganter bekal.

Aku : janji. Kamu jangan terbang ke sini. Aku males ketemu. Bosan.

Aku memasukkan ponsel ke tas dan melajukan mobilku. Seberat apapun hari yang kulalui, selelah apapun, selalu terbesit senyum di tiap ranting detiknya. Kenapa lagi, kalau bukan karena Reiza Surya Pratama.

Kurang lebih aku rapat selama tiga jam. Sebagai kepala bagian peneliti produk perawatan wajah, aku menjelaskan detail produk baru kami. Sebuah serum halal dengan efek samping yang hampir tidak berarti.

Alhamdulillah. Rapat berakhir dengan tanda tangan para investor menyetujui penginvestasian dana ke perusahaan kami.

Saat ini pukul dua siang. Benar kan, telah lewat jam makan siang. Untung saja di tengah tengah rapat, aku sempat izin meminta break untuk sholat dzuhur.

Aku pergi ke cafe yang tak jauh dari tempat ini. Memesan makanan dan.. ups !! Jangan lupa memfotonya.

Aku membuka ponsel untuk mengirimkan foto makan siangku ke Reiza. Benar saja. Saat aku melihat ponsel, sudah ada satu pesan masuk.

Reiza: mana fotonya, bu Tara?

Ia berlagak formal. Aku tertawa geli.
Kukirimkan foto makananku yang tadi dengan caption : mission complete.

Reiza membalas: good job !

Aku tertawa kecil melihat balasannya. Huh, bahagianya !!

Saat aku sedang asyik makan, tiba tiba seorang perempuan menggeser kursi kasar dan duduk di depanku. Wajahnya tidak asing.

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang