Suara gemersik daun menemaniku yang tengah duduk sambil menulis laporan praktikum di bawah pohon beringin kampus siang ini. Kuliahku sudah selesai sejak sebelum dzuhur. Aku memilih mengerjakan laporan sambil menunggu kajian nanti sore.
Hari ini mantap sekali. Satu kelas memanggilku ukhti karena jilbab lebar dan gamis yang kupakai. Aku tau itu bukan panggilan untuk sanjungan, tapi mereka sedang mengejekku yang tiba tiba menggunakan pakaian seperti ustadzah. Ah masa bodo lah.
"Mbak, boleh pinjam pensil?"
Ucap seorang lelaki yang ternyata duduk tak jauh dari posisiku.
"Boleh"
Aku mengambil pensil dari dalam kotak pensil dan menyerahkan kepada lelaki itu. Sekilas kulihat, dia sedang menggambar rangkaian listrik di kertas HVS miliknya. Sepertinya mahasiswa jurusan Fisika yang juga sedang mengerjakan laporan praktikum.
"Saya juga sedang mengerjakan laporan"
Lelaki itu tersenyum, seolah tau apa yang sedang kupikirkan.
"Saya Reiza, mahasiswa jurusan Fisika semester 3."
"Oh, iya"
Ucapku tersenyum.
"Nama mbak siapa?"
"Tara"
"Sepertinya nggak asing. Fakultas MIPA juga ?"
Aku mengangguk.
"Jurusan apa?"
Ah berisik banget. Aku ada deadline laporan yang harus kuselesaikan sebelum kajian, tau !
"Kimia"
"Semester?"
"Tiga"
"Wah seangkatan. Boleh ku panggil Tara aja ? Nggak usah pakai 'mbak'?"
Aku mulai kesal. Sebenarnya tidak masalah diajak ngobrol. Tapi timing nya jangan pas lagi deadline gini dong !
"Iya"
"Pantes nggak asing, ternyata kita satu fakultas"
Terus?
Entahlah. Moodku buruk sore itu. Mungkin karena diajak ngobrol sedikit menggangguku yang sedang berkonsentrasi penuh menulis mekanisme reaksi yang panjangnya 3 lembar kertas folio bergaris.
"Kalau pensilnya udah, saya mau pakai"
Ucapku.
Sebetulnya aku punya pensil 3 sih di kotak pensil. Tapi aku sedang ingin kejam karena lelaki ini membuatku kesal. Eh tunggu. Kenapa aku gampang sebal hari ini? Oh ya. Mungkin karena seharian ini aku sudah menahan emosi diledek oleh teman sekelas.
"Oh, iya. Ini pakai aja, Tara. Maaf ya udah ganggu"
Aku mengangguk. Lelaki itu kemudian beranjak ke mahasiswa yang sedang duduk tak jauh dari kami. Sepertinya meminjam pensil. Aku jadi merasa bersalah. Ah udah lah biar.
"Assalamu'alaikum ukhti Tara"
Suara Arumi yang memanggilku begitu terdengar seperti tetanggaku yang mengejek anak tetanggaku yang lain yang lulus kuliahnya sedikit terlambat. Kurang lebih begini : bu, anaknya cinta banget ya sama kampus, sampe belum lulus.
"Sekali lagi kamu panggil aku ukhti, ciput jilbabmu tak tarik"
"Whoo galaxss"
Ucap Arumi sambil terkekeh. Lalu menoleh ke arah lelaki di sebelahku tadi.
"Lho, Reiza?"
Lelaki itu menoleh ke arah kami.
"Eh Arumi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengikhlaskan Kenangan
RomanceBagaimana jika, janji dua orang - aku dan dia - yang telah terpahat dan terikrar tanpa ragu, berakhir dengan secarik undangan tanpa namaku di dalamnya ?