(7)

86 10 2
                                    

Sinar rembulan memasuki kamar kostku yang berukuran 5 × 6 meter. Di kostan sedang mati lampu. Arumi, sepulang kajian tadi, pergi ke rumah teman sekelasnya karena sedang mengerjakan tugas kelompok bersama. Katanya mau menginap.

Kesendirian, kesunyian, dan kegelapan ini membuatku mudah merenung.

Aku teringat isi kajian tadi sore. Judulnya, "Aurat yang Harus Kututupi"

Kajian itu membahas mengenai aurat seorang laki laki dan perempuan muslim yang tidak boleh sampai dilihat selain mahramnya. Ustadz bilang, aurat perempuan itu seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Sedang aurat lelaki, batas dari pusar hingga lututnya.

Sebetulnya, Arumi sering sekali menasehatiku untuk sempurna menutup aurat. Tapi entah kenapa, baru sekarang ini aku mulai meresahkan penampilan yang selama ini menjadi gaya hidupku. Aku paling suka baju setengah atau dua pertiga lengan, celana, dan sepatu tanpa kaus kaki. Nggak tau ya, keren aja rasanya.

Tapi kata kata ustadz tadi begitu membuatku khawatir. Terlebih saat beliau menyinggung tentang ayah. Oh ya, ayahku sudah meninggal saat usiaku 15 tahun. Tepatnya, kelas 1 SMA. Beliau meninggal karena penyakit jantung koroner. Ibuku adalah orang tua yang hebat, sebab telah tabah mengasuhku dan dua kakakku seorang diri hingga detik ini. Kakakku yang pertama adalah seorang dokter, dan yang kedua telah menjadi pengacara. Ayahku meninggal saat kedua kakaku masih kuliah. Terbayang kan, bagaimana rasanya harus membiayai dua orang yang sedang berkuliah seorang diri ?

Untungnya, keluarga kami cukup berada. Ayahku yang seorang dosen tak pernah diam saat beliau masih hidup. Gaji yang ia dapat disisihkan untuk menjadi modal berbisnis. Sehingga saat beliau meninggal, keluargaku masih punya penghasilan lain, selain ibuku yang seorang pensiunan. Ibuku lah yang kemudian meneruskan usaha ayahku, hingga saat ini.

Kembali ke topik pembahasan pak ustadz tadi. Kata beliau, seorang anak perempuan yang belum menikah, masihlah menjadi tanggung jawab ayahnya. Dan saat anak perempuan itu tidak menutup aurat, maka sang ayah akan dimintai pertanggung jawaban.

Alamak. Sudah berapa tahun aku menyusahkan hidup ayahku di sana ?

Aku ingin menangis tapi entah mengapa sulit sekali. Sementara dadaku semakin sesak. Akhirnya kuputuskan untuk menyetel lagu melow dari hape agar semakin menghayati. Berhasil. Air mataku akhirnya keluar. Semakin deras, hingga sulit untuk berhenti.

Malam ini, aku menangis sesenggukkan bersama suara vokalis ada band yang tengah menyanyikan lagu 'yang terbaik bagimu'. Aku menangis hingga tertidur.

Lalu, kulihat danau diantara rerimbun pohon. Angin sepoi sepoi berhembus. Suasana yang nyaman sekali. Dan di seberanh danau itu, ada seorang lelaki tengah berdiri. Wajahnya tak terlalu jelas sebab jarak kami cukup jauh. Tapi postur tubuhnya, aku mengenalnya sejak sembilan belas tahun yang lalu. Perlahan sosok itu semakin jelas. Benar. Dia ayahku.

Ayahku mengenakan kemeja putih, celana bahan hitam dan ikat pinggang seperti biasanya. Ke dua tangannya diselipkan di kantung celana. Benar benar gayanya.

Ia tersenyum ke arahku dan mengangguk. Aku berlari ke arahnya. Wajah itu adalah wajah yang paling kurindukan. Aku terus berlari hingga danau menjadi jarak di antara kami. Aku berputar untuk mengelilingi danau itu, tapi jarak kami tak juga menjadi dekat. Semakin aku berlari, jarak danau ini menjadi semakin jauh. Ayahku melambaikan tangan ke arahku, dan perlahan menghilang.

"Ayah..!!"

Aku menangis di tepi danau. Sekali saja. Sekali saja aku ingin memeluk dan mencium tangannya. Tapi ayahku telah pergi.

Angin masih berhembus tenang, dan aku masih menangis. Hingga suara adzan subuh membuat danau dan pepohonan rimbun di depan mataku lenyap, berganti panaroma kamar kost yang lampunya menyala terang benderang. Aku sadar, tadi aku hanya bermimpi.

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang