(9)

77 12 4
                                    

Aku mondar mandir di depan sekretariat Lembaga Dakwah Kampus. Aku dan Arumi sudah janjian untuk ketemu di dalam sekret. Tetapi aku malu untuk masuk.

Ah kutelfon saja si Arumi. Akan kusuruh dia menjemputku di depan pintu.

Kuraih ponsel di dalam tas ransel yang seberat keponakanku itu, lalu menelfon Arumi via what's app.

*Tuut.. tuuut...

Masih memanggil. Apakah Arumi tidak punya kuota ?

Ya sudahlah, aku masuk saja.

Begitu masuk ke dalam sekret, aku kembali bingung. Di sini ada dua horden dengan pembatas dinding setinggi kepalaku. Hordeng kanan berwarna hijau dan kiri berwarna biru. Aku harus masuk yang mana ? Ah terserah. Coba saja satu satu. Aku akan membuka hordeng yang hijau terlebih dulu.

Dan..

*Srakkkkk

Hening

Tujuh pasang mata ikhwan melongo melihatku. Salah satu dari mereka malah mematung sambil memegang pisang goreng dengan mulut terbuka.

Alamak. Sepertinya aku salah masuk.

Salah satu dari mereka menahan tawa yang justru tawa itu keluar lewat tenggorokannya. Reiza !

Aku yang sadar, bertanya dengan terbata bata.

"A.. arum.. Arumi ada?"

Lelaki lain yang duduk di pojok sambil menggenggam Al Qur'an, menjawab pertanyaanku.

"Bagian akhwat di hijab sebelah"

Kak Harun ! Ekspresinya dingin dan datar.

Hah. Jadi ini tempat ikhwan? Tempat laki laki? Di pisah ya ? Malunya !

Tak lama, seseorang menggandeng dan menarik tanganku. Arumi. Membawaku ke hijab sebelah.

"Heh ngapain di sana?"

"Hah?"

Aku masih melongo

"Kamu ngapain masuk masuk ke tempat ikhwan?"

Setelah sadar, kujitak kepala Arumi pelan.

"Kamu dihubungin kenapa gak bisa sih? Mana tau aku harus masuk ke ruang yang mana !!"

Arumi tertawa puas sekali.

"Maaf, maaf. Kuotaku habis. Lagian, kan ada tulisannya di atas, mana ikhwan mana akhwat"

"Iya kah?"

"Gak percaya? Lihat aja"

Aku keluar dari ruangan akhwat untuk mengecek hijab. Dan, benar! Ada keterangannya! Mati aku.

"Rum.."

"Hmm"

"Bisa nggak, kamu masukin aku ke karung, terus buang aja ke hutan hutan"

"Ngaco ih"

"Aku malu baaangettt. Huaaa"

Untung saja, di ruangan akhwat, hanya ada Arumi seorang. Kalau tidak, bisa bisa bertambah jumlah memori orang yang mengetahui aibku hari ini.

Arumi, meski aku tau banget dia menahan tawa, mencoba menenangkanku.

"Nggak papa. Udah.. kamu kan enggak tau"

"Aku nggak jadi daftar LDK"

Ucapku putus asa. Gila. Ini sih, lebih malu dari kejadian terpeleset di lapangan saat SMA dulu. Kak Harun lho, yang lihat !

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang