(5)

101 11 2
                                    

Aku mengaduk aduk kopi di depanku sambil menahan emosi. Mbak mbak yang tadi itu parah banget nggak, sih!

Dan Arumi, malah terlihat tenang sambil membaca buku yang tebalnya tidak beda dengan buku keramat yang tadi siang kugendong.

"Rum, kok kamu tenang tenang aja sih?"

Arumi mengalihkan pandangannya ke arahku

"Hm?"

"Tadi itu kamu udah difitnah lho, dibilang teroris. Sama orang yang nggak kenal pula! Bapakmu aja nggak pernah bilang kamu teroris."

Ucapku sambil mendengus.

"Jadi, kamu mau bapakku duluan yang bilang kalo aku teroris?"

"Nggak gitu konsepnya, mbah buyut."

Yang dijawab dengan gelak tawa oleh Arumi. Kemudian ekspresinya berubah santai.

"Mungkin karena penampilanku?"

"Memang penampilanmu kenapa? Kamu kan masih pakai baju dari kain, bukan dari bungkus pelet ikan!"

Jawabku tak terima. Arumi meletakkan buku yang tadi ia baca dan memandangku dengan ekspresi yang serius.

"Tara, kamu juga sadar kan, kalau penampilanku sangat tertutup? Jilbab lebar, gamis panjang, manset tangan?"

"Iya, terus apa salahnya?"

"Nggak ada yang salah memang. Yang salah adalah persepsi kebanyakan orang saat ini kepada mereka yang berpenampilan sepertiku."

Arumi mengambil boneka berbentuk gepeng yang biasanya dijadikan bantal, dan meletakkan boneka itu dipangkuannya.

"Begini, Tara. Banyak orang yang masih menganggap muslimah yang berjilbab lebar, atau bercadar, sebagai kaum ekstrimis. Teroris. Citra itu sudah melekat lama, citra yang memang direncanakan oleh orang orang yang membenci Islam. Citra agar orang lain pun ikut membenci agama kita. Tapi menurutmu, apa benar Islam begitu? Apa benar, semua yang berjilbab lebar itu teroris?"

"Ya enggak lah, gila aja"

"Yap, bener banget. Enggak. Jelas enggak. Agama kita adalah agama yang damai, yang benar, yang lurus, yang penuh kasih sayang dan sempurna toleransinya. Tugas kita, adalah memahamkan itu kepada sebanyak mungkin orang"

Arumi lalu melanjutkan,

"Kalau tadi aku balas mencaci gadis itu, bukan kah sama saja aku membenarkan citra yang buruk tentang Islam itu ke dia?"

Aku diam. Setelah otakku berhasil mencerna kata kata Arumi, aku mengangguk. Benar juga, sih.

"Iya juga, sih. Wah hebat juga kamu rum, di kondisi ngeselin kaya tadi aja kamu masih bisa berfikir sejernih itu!"

"Hoho.. aku gitu loh"

Ucapnya bangga yang malah membuatku ingin melempar wajahnya dengan bantal.

"Mulai sombong dia"

Arumi terkekeh.

Lalu diam.

Dan mencubit pipiku.

"Lagian tadi kamu kenapa ngeliatin kak Harun sampe segitunya ?? Kan udah aku bilang, jaga pandangan !! Disuruh tundukan pandangan malah tajamkan lirikan !"

Aku nyengir

"Sakit heh"

Cubitan Arumi justru semakin keras. Ah menyebalkan sekali

"Iyaaa iyaa maaf ustadzah, maaf. Saya khilaf."

Ucapku kemudian. Arumi melepaskan cubitannya. Menggeleng geleng kepala dan kembali membaca buku yang tadi menemaninya.

"Eh rum.."

Ucapku lagi.

"Hm?"

"Anu.."

"Apa?"

"Ah nggak papa"

"Kenapa?"

"Kak Barra tadi ngajak makan malam. Menurutmu gimana?"

"Sama siapa aja?"

"Berdua."

"Berdua?"

"Iya"

"Ya nggak papa"

Ucapnya santai

"Serius?"

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Kamu ikut kajian di Lembaga Dakwah Kampus selama satu bulan. Setelah itu, silahkan kalau kamu mau makan berdua sama siapa pun. Tapi syaratnya, harus serius ikut kajiannya. Dan selama satu bulan itu juga, jangan kontak dulu dengan kak Barra."

Wah, tumben. Ini mah syarat yang mudah. Mudah, pikirku saat itu.

"Oke"

"Serius?"

Kali ini malah Arumi yang heran dengan jawabanku.

"Yap"

Lagian ya, aku meng-iya-kan bukan karena kepingin makan malam dengan kak Barra, tapi kan, kudengar kak Harun itu ketua umum Lembaga Dakwah Kampus. Setelah mendengar itu, aku jadi ingin ikut LDK supaya bisa curi curi pandang. Tapi Arumi pasti langsung bisa menebak alasanku.

Syukurlah, kali ini Arumi yang menawarkan sendiri. Hihi.

"Oke, besok jam 4 sore di masjid Ar Raihan"

"Besok?"

"Iya"

"Oke. Eh tapi.."

"Tapi apa?"

"Aku nggak punya baju yang selebar punyamu."

"Nggak papa, pakai baju yang biasa kamu pakai aja"

Ucap Arumi santai.

"Ya nggak pede lah aku"

Aku protes. Arumi kemudian menatapku.

"Mau kupinjemin bajuku?"

"Serius? Boleh!"

Seru mungkin ya, selama sebulan tampil anggun seperti ukhti ukhti.

"Oke, pilih aja di lemari"

Ucapnya sembari menunjuk ke arah lemari yang terpajang di dalam kosannya. Aku memilih satu sett gamis beserta jilbab segi empat ukuran 150 cm² yang berwarna senada.

"Mau dicoba dulu?"

"Oo iya dong"

Ucapku sembari melangkah ke kamar mandi dan mencoba baju yang tadi kupilih, lalu berlari ke arah kaca.

"Uwihhhh. Aku merasa sholihahh"

Aku berputar putar memandangi tubuhku yang tengah terbalut gamis berwarna navi dengan outer putih bersih, dan jilbab lebar yang juga berwarna navi. Walaupun syar'i, baju baju Arumi tetap enak dilihat. Apa ya, modis tapi syar'i.

"Semoga istiqomah, sahabatku"

Ucap Arumi sambil memegang pundakku dari belakang. Meski tidak tau apakah aku mampu seperti Arumi, aku tetap tersenyum mengaamiinkan.

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang