Prolog

341 26 3
                                    

Detik jam terus berdentang dentang seolah ikut kesal dengan kebisuan yang masih kami lestarikan. Dia mengaduk aduk kopi yang hampir dingin tanpa berniat meminumnya. Sedang aku, menatap pinggiran piring dengan pisang cokelat yang masih belum tersentuh, sebab hidangan itu memang hanya alasan untuk mencari jawaban dari berkarung karung tanda tanya yang tak lagi mampu kutahan. Dadaku sesak. Namun meski sekecil riak di kolam ikan belakang rumah, harapan itu masih kugenggam.

Harapan, agar ia menepis segala kabar kabar yang kudengar. Agar ia menegaskan, bahwa sakit hati yang kurasakan ini adalah sakit yang tak perlu, sebab kenyataannya, hatinya masihlah bertahtakan aku. Dan semua bisik bisik yang kudengar, hanyalah mimpi siang hari, yang segera ia singkirkan dengan senyumnya.

"Jadi, kita ke sini benar benar hanya untuk minum kopi?"

Tanyaku memulai pembicaraan. Entah itu kata kata pembuka yang baik atau tidak. Aku memang hanya asal bicara untuk memecah kebisuan. Aku tak tahan menunggu. Masa bodo dengan perasaan canggung ini. Toh, dia pun tau, aku lebih suka blak blakan.

"Iya, dan ada yang ingin kusampaikan"

Matanya beralih menatapku yang masih menyimpan berjuta tanda tanya.

"Katakanlah."

Toh aku sudah mempersiapkan hati sedemikian lama. Kebenaran dari prasangka yang selama ini kupelihara, dari cerita orang orang yang entah bagaimana, tau tentangnya dan menceritakannya padaku, aku harus tau kebenarannya. Langsung darinya.

"Mungkin kau sudah dengar"

katanya lagi. Terlihat sekali, dia hati hati memilih kata. Hanya untuk bicara begini aku harus menunggu 5 menit sejak kata terakhirku tadi.

"Soal?"

"Aku yang akan menikah"

"Ya?"

"Aku akan menikah"

"Aku juga"

"Hm?"

"Semua orang memang akan menikah, kan?" Jawabku lagi.

"Aku akan menikah, dua bulan lagi."

Aku diam. Masih berharap ini adalah strateginya untuk melamarku. Ya,  dia tidak mungkin sejahat itu. Dua tahun kami menjaga komitmen untuk saling menjaga. Dia tidak mungkin setega itu menikah dengan wanita lain tanpa aba aba. Apalagi hubungan kita terlalu baik baik saja untuk memungkinkan dia berpaling.

Kuhembuskan nafas panjang. Mau tidak mau, aku harus bertanya. Sebab menyimpan duga dalam waktu yang lama lebih sesak dari mengetahui kepastian yang menyakitkan.

"Dengan siapa?"

"Arumi"

"Arumi yang mana ?"

"Yang sahabatmu"

Hening

Saking hebatnya gejolak dalam darahku, dan hatiku yang seperti di gergaji, aku tak mampu mengatakan apapun. Ya, ya!! Aku sudah mempersiapkan hati andaikan kau mengkhianatiku. Andaikan kau menikah dengan orang lain, aku sudah mempersiapkan ini sejak lama. Tapi kenapa Arumi? Kenapa ? Kena..

Aku menunduk. Bukan karena tak berani menatapnya. Tapi aku muak bukan main.

"Maaf.."

Katanya kemudian. Aku masih diam.

"Aku pun tidak meyangka semua akan begini. Aku.."

Belum jadi ia melanjutkan kata katanya, aku berdiri dari tempatku. Meja sedikit bergetar sebab aku tak mampu berlagak slow motion anggun lagi. Masa bodo. Kekecewaan ini sulit kutangani.

"Ra.." panggilnya lagi. Kali ini suaranya melemah.

"Dengarkan penjelasanku.. kumohon"

Aku yang sudah berjalan setengah langkah, membalikkan badanku.

"Apa kalau aku dengarkan penjelasanmu, pernikahanmu akan batal?"

Dia diam. Matanya berkaca kaca.
Rasa bersalah yang tak perlu. Kalau mau, harusnya dari dulu sebelum ia memutuskan menikahi Arumi.

"Aku tidak butuh penjelasanmu dan tidak akan pernah butuh. Sudahlah. Kau akan menikah. Merasa bersalah kepadaku hanya akan mengganggu pernikahanmu. Lagi pula, semua sudah terlambat. Kenapa baru merasa bersalah sekarang? Aku tidak butuh, penjelasan atau rasa bersalahmu. Saat ini yang kubutuhkan adalah, kau jangan lagi lalu lalang di apapun yang kulihat. Karena itu hanya akan semakin menyakitiku. Setidaknya sampai hati ini membaik. Kita jangan pernah berpapasan, di dunia maya ataupun nyata. Bisa?"

Matanya menunduk. Kulihat ada yang menetes di sana. Tidak. Tidak berpengaruh sama sekali dengan hatiku yang telah berceceran.

"Baiklah, kalau kau tidak bisa. Biar aku saja yang menghindar. Assalamu'alaikum" kataku lagi sambil berlalu.

Kopi dan pisang cokelat yang kupesan hanya kubayar. Tak jadi kusantap. Padahal itu kopi kesukaanku, es kopi susu gula aren. Entahlah, hari ini aku tak ingin meminumnya.

Ia, kutinggalkan sendirian dengan dua cangkir kopi dan satu pisang cokelat yang belum disentuh. Entah apa yang saat ini ia rasakan, aku tak peduli. Aku berjalan, terus berjalan, mobilku lumayan jauh dari pintu masuk kedai kopi yang cukup luas ini.

Serabutan aku mencari kunci mobil, menghidupkannya tanpa menyentuh pedal rem, gigi, atau gas. Hanya duduk dan menangis sejadi jadinya. Hari ini, aku benar benar patah.

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang