(3)

127 18 2
                                    

Di kantin, kami mengobrol sambil menunggu dua mangkuk soto dan dua cup es kopi susu gula aren yang tadi kami pesan.

"Eh rum, tau nggak?" Kataku.

"Enggak" jawabnya meledek. Aku mendengus kesal.

"Ya gimana aku tau, kalau kamu bum kasih tau?"

"Ehe iya juga" Aku nyengir.

"Jadi, ada apa?"

"Tadi aku lihat akhi akhi ganteng" ucapku antusias

"Heh, istighfar.."

"Eh iya. Astaghfirullah. Tapi rum, emang ganteng!"

Arumi menghela nafas. Kami memang selalu mencoba mengerti perasaan masing masing. Aku yang tak pernah tersinggung saat diingatkan olehnya, dan dia yang selalu memahami situasi terlebih dahulu sebelum mengingatkanku. Kali ini sepertinya dia merasa bahwa aku sedang ingin didengarkan.

"Oke, ceritakan" ucapnya lagi

"Jadi tuh.. " aku menceritakan panjang lebar pertemuanku dengan lelaki tadi secara antusias. Arumi menyimak dengan seksama, sesekali matanya menatap ke arah meja tempat kami makan, wajahnya terlihat berpikir. Setelah aku selesai menceritakan semua kehebohan hatiku, Arumi baru menanggapi.

"Hm.. gimana tadi ciri cirinya?"

"Pakai jaket lembaga dakwah"

"Terus?"

"Tinggi, agak putih"

"Terus?"

"Ganteng"

"Terus?"

"Ganteng"

"Terus?"
Tanya nya lagi menahan emosi. Haha kubiarkan saja. Memang cirinya yang paling menonjol adalah kegantengannya. Mau gimana?

"Ganteng"
ucapku sekali lagi meledek Arumi. Ia mendengus setengah tertawa.

"Dasar!"

"Hihihi" aku nyengir kuda.

Sesosok wanita paruh baya dengan rambut yang digelung datang menghampiri kami dengan membawa dua mangkok soto dan dua gelas es kopi susu gula aren kesukaan kami.

"Terimakasih bude" ucapku tersenyum manis yang dibalas senyuman oleh ibu kantin yang membawakan makanan tadi.

Malihat soto dengan kuah yang mengepul, mataku berbinar. Tak tengok kanan kiri, tak peduli dimana, aku menyantapnya seperti gadis yang tidak diberi makan 2 hari. Arumi menatapku dan geleng geleng kepala.

"Hey kalau ibumu lihat bisa bisa beliau menangis"

"Kenapa?" Kataku tanpa mengalihkan pandangan dari soto yang berkilauan.

"Dikira selama ngekost kau tak pernah makan!" Ucapnya lagi sambil terkekeh.

Aku tak memedulikan ledekan Arumi. Saat ini soto adalah fokus utamaku.

"Hey, pelan pelan" Ucap nya lagi yang kuhawab dengan menempelkan jari telunjuk dengan jari nempolku membentuk huruf o, dan tiga jari yang lain kunaikkan ke atas pertanda simbol 'oke'. Sotonya enak sekali. Aku hampir saja tersedak, langsung ku raih es kopi susu di depanku dan meminumnya.

"Nah kan, makanya hati hati" ucap Arumi.

"Hehe.." aku nyengir kuda. Mataku sedikit kualihkan dari soto untuk mengatur nafas yang tadi hampir tersedak, dan.. clingg. Lelaki yang tadi menabrakku melintas. Aku melongo dibuatnya. Ia datang bersama dengan tiga orang lelaki lain yang kutaksir adalah mahasiswa baru sebab rambutnya botak dan masih menggunakan almamater.

Lelaki itu berjalan ke arah ibu kantin dan memesan beberapa makanan, lalu duduk agak jauh dari kami.

"Rum rum.." kataku memanggil Arumi

"Hm? Apa lagi?"

"Itu rum.. itu"

"Itu siapa?" Katanya bingung

"Yang tadi.. yang tadi kuceritakan!"

Arumi membalikkan badannya, menyapu seisi kantin untuk melihat siapa yang kumaksud.

"Ituu babang ganteng yang tadi menabrakku"

Tangan Arumi menunjuk ke arah lelaki tadi

"Yang itu?"

"Et buset. Jangan ditunjuk tunjuk!" Kataku melotot. Khawatir lelaki itu akan sadar

"Ups iye maaf. Hahaha" ucap Arumi tertawa geli.

Ia lalu melanjutkan
"Itu mah, kak Harun"

"Siapa?"

"Iya, yang kamu maksud itu, namanya kak Harun"

"Kak Harun?"

"Iya"

"Nama yang indah, seindah purnama"

Arumi mencubit pipiku mendengar kata kataku yang terakhir.

"Sakit, dasar ibu tiri" umpatku

"Habis kamu, lebay!"

"Hehe" aku nyengir kuda.

Arumi lalu diam menatapku. Hati hati ia berbicara lagi.

"Kalau kau benar benar menyukainya, aku akan membantumu melamarnya"

*Sruuttttt!

Es kopi susu yang kuminum tak segan keluar dari mulutku. Aku menyemburkannya karena kaget bukan main. Beberapa mahasiswa menatap ke arahku. Ada yang menatap sinis, ada yang menahan tawa, ada juga yang menoleh tak peduli, lalu melanjutkan aktivitasnya.

"Arumi, please. Jangan bercanda di saat saat begini deh!"

Ucapku sambil mengelap es kopi susu di bibirku. Oh tidak, apakah ada yang keluar lewat hidung? Kuraba hidungku dan bersyukur masih bersih. Aku tidak bisa membayangkan jika es itu keluar lewat hidung.. ah tidak. Kenapa jadi memikirkan ini?

Arumi menatapku lagi. Tak ada tawa sedikitpun dalam ekspresinya. Masa iya dia serius menyuruhku melamar kak Harun atau siapa lah itu?

"Aku tidak bercanda, aku serius. Daripada kau mengaguminya dan malah jadi memikirkannya terus, mending kalian menikah kan. Halal sekalian"

Gila! Pikirku.

"Hey, kenapa nggak kamu minta aku menembaknya jadi pacar saja? Walaupun sama gila nya, andaikan ditolak, itu lebih baik daripada aku melamarnya!"

"Pacaran tidak ada dalam islam, temanku"

Jawabnya lagi.

Sebetulnya, semenjak Arumi hijrah atau apalah itu sejak masuk lembaga dakwah, dia memang menjadi barisan anti pacaran dan lebih baik langsung menikah. Arumi menjelaskan, pacaran itu dilarang dalam Islam. Katanya lagi, kehormatan seorang muslimah, ada pada bagaimana caranya menjaga perasaannya, mengaja hati, hanya untuk yang halal.

Aku tak tersinggung dan membenarkan saran Arumi. Memang si, pacaran itu lebih banyak bahayanya. Aku sendiri belum pernah pacaran sejak bayi. Bukan karena tak laku, tapi pacaran memang membuang waktu. Aku punya rencana untuk pacaran saat kuliah. Tapi Arumi yang hijrah selalu menjagaku dari perbuatan itu. Tapi ya, kalau aku tiba tiba melamar laki laki yang baru kutemui tidak sengaja di lantai tiga gedung jurusan kimia, bukankah itu gila?

"Semoga Allah segera membuatmu siap menikah ya"

Ucap Arumi tiba tiba. Aku menatapnya sedikit kaget. Tapi itu doa yang baik.

"Aamiin"

Mengikhlaskan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang