32. Ibu

66 17 3
                                    

Kita tidak tau kapan ajal datang menjemput
Yang kita lakukan hanyalah bersiap
Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di detik selanjutnya

–Nabila

Nabila keluar ruangan. Melihat sang Ibu dipasang infus, membuat hatinya pilu. Siapa yang tidak sedih melihat Ibu terbaring lemah di brankar pasien. Sebelum Nabila ke rumah sakit, ia menyempatkan untuk menitipkan Zaan pada Aina. Karena sebelum ke rumah sakit, Nabila pulang untuk mengambil beberapa barang penting.

"Ibu..."

Nabila menangis di luar ruangan. Mengapa di saat sebelum Ibunya masuk rumah sakit, ia tidak pulang untuk merawat. Nabila dipenuhi rasa bersalah ketika mengingat kata-kata yang diucapkan Erni mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Nabila benci itu. Nabila ingin merawat Ibunya. Nabila menyangkal itu semua, merubah rasa itu jadi tangisan hingga tidak ada rasa marah lagi pada sang Ibu.

Rima dan Ardi berlari dan langkah mereka terhenti ketika melihat Nabila menangis sendiri di depan ruangan Rima. Gadis mungil itu terisak dalam keadaan pilu, ujung hijabnya basah dan matanya sangat bangkur.

"Nabila..."

Suara Rima membuat Nabila menoleh, Nabila langsung berlari memeluk mertuanya dengan tangisan. Tidak peduli seberapa malunya dirinya saat ini, intinya ia butuh pelukan seseorang untuk melampiaskan kesedihannya. Rima mengerti itu. Rima meneteskan air mata melihat keadaan Nabila seperti ini.

"Jangan sedih, Sayang. Ibu kamu sebentar lagi sembuh kok. Percaya sama Mamah." Rima menyeka air mata Nabila yang tak berhenti mengalir.

"Mah..hiks hiks, Ibu ngga bilang ternyata selama ini kalau Ibu sakit. Ibu cuma diam ya Allah."

"Syuttt," Rima mengelus kepalanya, "kita tunggu kondisi Ibu kamu ya, Sayang. Ayo duduk dulu."

Bapak Nabila, Jodi. Tak kunjung keluar ruangan, lelaki paruh baya itu tetap setia berada di samping sang istri. Hingga Nabila, Rima dan Ardy masuk ke ruangan. Jodi tertidur menemani sang istri sampai terlelap.

Melihat kondisi Ibunya seperti itu, Nabila kembali memeluk Rima, ia kembali menangis. Sekuat apapun hati Nabila, ia tidak bisa menahan apa yang ada di depan matanya ini. Benteng pertahanannya runtuh, sangat menyakitkan.

Nabila menyingkirkan pria brengsek yang ada dibenaknya, siapa lagi kalau bukan Izza. Nabila benci panggilannya tidak di angkat, pesannya tak dibalas dan selalu diabaikan. Rima juga sangat benci situasi dimana Nabila menghadapi ujian berat, tapi Izza tak berada di samping menantunya.

Sudah beberapa jam Nabila duduk mengamati wajah Ibunya sambil menangis, yang ditatap masih memejamkan mata. Jika waktu sholat tiba, Nabila dengan cepat mengambil air wudhu, bercerita semua yang ada di hatinya.

Nabila tak nafsu makan, sudah seharian tak ada asupan walau hanya seteguk air. Beberapa kali Rima mewanti-wanti agar makan, tapi ditolak dengan gelengan. Jodi pun turut menyuruh Nabila makan, tapi tetap saja. Sama sekali tak ada nafsu.

Tangan Rima bergerak perlahan, menandakan wanita paruh baya ini mulai merespon sekitar. Nabila terkejut, menatap sang Ibu dengan penuh khawatir. Sama halnya dengan Jodi, Rima dan Ardy.

"Ibu..."

"Nak..."

Suara Erni terdengar lemas.

Nabila mencium punggung tangan Erni bersama air mata yang mengucur deras.

"Maafin Nabila, Bu."

"Nabila ngga salah kok, Ibu yang salah."

Gadis ini menggeleng, "Ibu jangan gitu. Nabila janji habis Ibu keluar dari rumah sakit, Nabila bakal rawat Ibu."

Tuan Arogan dan Putri Mawar (Komplit✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang