sepuluh

1.5K 167 9
                                    


Waktu terus berlalu dan Alenza masih merutuki kebodohannya sewaktu di minimarket tadi pagi. Duduk di depan televisi dengan semangkuk mie yang baru saja dibeli tetap saja tidak bisa membuat pikirannya teralihkan.

Susah payah bersembunyi, walaupun  sebenarnya separuh sudah terbongkar,  namun kebodohannya dalam beberapa detik tadi semakin memperjelas problemnya.

"Arghh!! Ya Tuhan mengapa saya begitu bego...."

"Baru sadar?"

Alenza terperanjat ketika ada seseorang yang menyahuti keluhannya. Dilihatnya ada sekumpulan orang datang dengan tampang tak ada dosa.

"Alhamdulillah...akhirnya mengakui kalau lo bego," lanjut Lucas. Tidak aneh jika dirinya bersikap seperti ini, mengingat beberapa hari lalu lelaki itu sempat merajuk. Karena itu sebagai bentuk kembalinya dirinya ke sikap semula. Jika tak mengejek, ia akan canggung.

"Hadeuh...nambah beban, deh."

Hanya bisa pasrah.

"Bisa enggak sih menyambut kita dengan bahagia?"

"Enggak. Gue capek," jawab Alenza pada Lucas. "Pliss, kerjaan gue dari pagi sibuk sampai gue menerima kesialan yang amat sangat membangsatkan."

"Emang lo ngapain?"

Alenza berdesah, tentu mereka tak tahu apa yang dialaminya hari ini. "Gue harus ngurus Achilla. Terus gue belanja ke minimarket depan sampai gue ketemu si Dewa."

"Mbak Tanti enggak dateng, Za?" Jinan bertanya, dan Alenza menggeleng lesu.

"Pulang kampung karena mamanya kecelakaan...." Alenza menjeda. "Mak Icih pun sakit, jadi gue yang urus semuanya."

"Enggak apa-apa, harus sabar...." Jinan menepuk-nepuk pundak Alenza.

"Iya, dapat pahala."

"Sekalian belajar jadi janda."

"Wah, Doris mulutnya!"

"Apa?"

"Suka bener!" Lucas tergelak, dan diikuti oleh Doris yang terkekeh pelan.

Sementara itu—lagi dan lagi Alenza hanya bisa mengelus dada bersabar atas perangai yang dimiliki teman-temannya.

***

"Wih, si bos dari tadi galau kagak ada ratunya!" kelakar Abim, salah satu teman dari Dewa. Teman-teman yang lain pun ikut menertawakan perkataannya.

"Suka lo sama si Lenza?" Kini Galih ikut-ikutan mengejek. Sedang Dirga menyeringai ketika mendengar candaan yang lain. Dirga memang yang paling bisa mengatur diri, sedikit kaku dibanding lainnya, dan Dewa hanya bersikap tak acuh.

Mereka tengah berkumpul di rumah Dewa——kegiatan seperti biasa sepulang sekolah. Tiga kotak pizza, satu kotak ayam, dan beberapa minuman bersoda tertata di atas meja. Tentu saja pesanan ditanggung oleh tuan rumah.

"Berisik. Abisin tuh, kalau enggak gue lempar ke wajah lo."

"Ah, elah...tanpa lo suruh juga gue bakal abisin, Wawa wawa bakekok!" Abim tergelak lagi.

Dewa merotasi matanya, salah memang jika berbicara dengan Abim. Temannya yang selalu melahap apapun. Lelaki yang tak takut dengan bobot tubuhnya. Prinsip yang terpatri adalah:

Perut kenyang, hati pun senang.

"Bim, bukannya si Rara suka cowok yang berotot atau sixpack-an gitu?" Galih bertanya.

"Iya, suka," jawab Abim acuh tak acuh.

"Lah? Kenapa lo enggak pernah nge gym buat ngebentuk perut buncit dan tangan penuh lemak lo itu? Kan lo suka si Rara."

"Tapi gue lebih nyaman gini. Kalau si Rara suka yang tipe begitu bisa cari yang lain."

"Terus lo?"

"Cari yang lain juga, lah!"

"Anjim, mantap si Bibim!!" Galih memberi kedua jempolnya. Lalu berekpresinya pura-pura nangis karena terharu. "Prod op yu, lah, Bim!"

"Huuh, makasih."

Hening. Terjadi keheningan di dalam ruangan tersebut. Abim dan Galih sibuk makan, Dirga berkutat dengan ponselnya, dan Dewa sibuk bergelut dengan benaknya.

"Btw, Bos Wazapnshswa Basfkepgkok," ucap Abim memulai pembicaraan lagi sembari mengunyah pizza di mulutnya yang penuh.

"Telen dulu," balas Dewa.

Abim menurut, setelah itu ia mengambil air minum lalu meneguknya setengah gelas.

"Apa?"

"penguntit yang lo sewa itu——"

"Diem, Bim." Dewa menukas dengan raut wajah datar namun matanya seperti pisau yang siap menancap kapan saja.

Dirga mengangkat satu alisnya kebingungan ketika Abim menyinggung soal penguntit. Begitupun dengan Galih.

"Lo sewa penguntit buat apa, Wa?" Giliran Galih bertanya, namun tak ada respon. Pandangan Galih beralih pada handai karibnya—-Abim, namun lelaki itu juga melakukan hal yang sama dengan memunggungi temannya dan lanjut makan seolah tak terjadi apa-apa.

"Kok gue nggak tahu?" ucap Galih lagi. Intonasinya sedikit naik sebagai bentuk protes. "Kalian main secret, ya!?"

Tak ada yang menjawab. Galih menyerah dan berakhir merajuk.

"Selama ini lo sewa seseorang buat mengintai Alenza?" tanya Dirga.

Dewa diam. Salahnya telah bekerja sama bersama Abim.







.
.
.
.
.

Double up.

Vote sebagai dukungan. Terima kasih.






Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang