tiga

2.6K 241 4
                                    


"Udah dibilang jangan ikut. Biar gue berdua sama Jinan, dia 'kan yang lebih tahu." Alenza mengomel, menggerutu ketika Lucas terus-menerus mengganggu si bayi, membuatnya menangis dan tersenyum, tapi lebih banyak menangisnya.

"Eh, emangnya lo enggak butuh babu buat ambil barang-barang belanjaan nanti?" balas Lucas melirik sinis, lalu beralih pada bayinya lagi. "Enggak rugi amat gue ikut sama si Doris. Kita 'kan berguna."

"Doris aja udah cukup. Emangnya bakal belanja berapa banyak, sih? Duit lima puluh juta enggak bakal habis dalam sehari, nyet."

"Intinya gue pengin ikut. Titik gak pake koma. Bawel amat, nyet."

"Enggak usah ngomong kasar kalau deket bayi," kata Doris tiba-tiba yang duduk di depan, di samping Jinan yang tengah mengemudi.

"Siapa yang ngomong kasar? Gaada kali." Lucas memeletkan lidahnya.

"Dikira gue gak tahu, nyet itu monyet!"

"Nah! 'Kan lo yang ngomong kasar. Mending lo santai santai dalam diam seperti biasa."

Sesampainya di pusat perbelanjaan, mereka turun dari mobil secara bersamaan. Alenza mengendong bayi memakai ring sling yang diberi oleh Jinan. Lelaki itu sengaja pulang terlebih dahulu untuk membawa benda itu milik ibunya—milik adiknya sewaktu lalu.

Alenza berada di antara Doris dan Jinan, sedang Lucas berada di belakangnya. Mereka terlihat layaknya para bodyguard bagi gadis yang menggendong anak. Hal itu sempat menarik atensi beberapa orang, terutama gadis-gadis yang ada di sana.

"Gue kayak punya laki tiga," celetuk Alenza, ketiganya temannya tak menanggapi. Mereka tahu kalau Alenza tidak nyaman, namun yang terpenting dan utama sekarang adalah bayinya, bukan peng-gendongnya. Mereka akan bersikap protective.

"Memencar aja, ya. Gue beli baju, terus—"

"Gue juga pengin milih!" potong Lucas cepat, lalu menarik Alenza ke tempat pakaian anak.

"Eh sumpah pegal juga pundak gue. Sakit."

"Baru juga sebentar. Giliran baku hantam kagak ada tuh lo bilang sakit atau pegal."

Pasti tahu lah, Alenza adu omong dengan siapa. Always Lucas.

"Kalau gitu giliran lo!" tunjuk Alenza pada Lucas.

"Gue enggak berpengalaman. Takut banget. Ini juga kan tempat umum, berabe kalau nangis jerit-jerit. Dia lihat gue udah kayak lihat setan. Nangis mulu," tolak Lucas dengan berbagai alasan. Alasan yang terakhir mungkin ada benarnya.

"Biar Nana yang gendong." Jinan segera membantu Alenza melepaskan gendongannya, lalu beralih padanya. Bayi itu seketika terbangun, namun tidak menangis seperti sebelum-sebelumnya.

Hanya pada Jinan lah bayi itu terlihat tenang.

"Kayak suami istri aja." Doris berkata pelan, namun mampu membuat ketiga temannya melirik padanya.









Rumah Alenza.

Barang belanjaan sebagian disimpan di atas meja, sebagian lagi disimpan asal. Jinan menidurkan bayinya di atas kasur dengan penuh kehati-hatian, supaya masih terjaga. Memang dari sana sampai pulang, Jinan lah yang menggendong bayi itu. Sedang bagian mengemudi adalah Doris.

Alenza bersama Lucas mengambil barang belanjaannya satu per satu, unboxing perdana perlengkapan bayi.

"Ngomong-ngomong gue masih bingung kenapa bayinya bisa sampai sini," kata Alenza membuka pembicaraan dengan membahas kebingungan serta keganjalannya.

"Enggak usah dibahas, bikin beban pikiran aja," sambar Lucas.

"Waktu datang pintunya terkunci. Seharusnya enggak, dong?"

"Za, bayinya ada di kamar. Di setiap sisi pakai guling, buat penghalang," ucap Jinan  ketika keluar dari kamar Alenza.

"Oh iya, thank's, Na."

"Enggak ada nama buat bayinya?" tanya Jinan mengundang pikiran lagi untuk teman-temannya. "Kalau udah ada nama, enak kita panggilnya."

"Gue enggak kepikiran. Kalian punya saran nama? Tapi kalau bisa sih dari huruf  A," kata Lucas, sembari melihat ke arah Alenza.

"Berhubung nama gue dari huruf A?" Alenza mendelik membalas Lucas.

"Geer. Huruf A itu huruf pertama. Pokoknya pasti didahulukan,. dan terdepan. Contohnya waktu ujian pasti duduknya di depan."

"Siksaan batin."

"Achila Maharani," ucap Doris mengungkapkan saran nama bagi bayinya. Namun, sontak mendengar hal itu Alenza berekspresi tak setuju.

Dahinya mengkerut. "Itu nama belakang gue. Nama ibu gue. Enggak bisa lo pakai seenaknya."

"Usul. Kalau cocok silakan, kalau enggak ya gak usah." Doris mengedikkan bahunya setelah itu ia duduk dan menonton acara televisi, memisahkan diri dari yang lain.

"Tapi gue setuju," sahut Lucas. "Itu sebagai identitas aja. Anggap aja dia Maharani lain yang kebetulan tinggal satu atap," imbuhnya sebelum Alenza memotong perkatannya.

"Achila Pramudia." Kini giliran Jinan bersuara. Fokus Alenza dan Lucas beralih padanya, termasuk Doris si dingin yang tengah menonton yang biasanya tak mudah terusik pun memandang ke arah Jinan.

"Itu nama belakang lo, nyet." Lucas memutar bola matanya.

"Terus kenapa?"

"Orang bakal ngira ada apa-apa di antara kalian berdua lah."

"Seperti yang sebelumnya Lucas bilang, bahwa ada Maharani lain, dan tentunya Pramudia enggak cuma satu. 'kan, ada yang lain."

"Tetap aja kita itu dekat dalam satu lingkup. Orang suudzon bakal ke yang terdekat sebelum yang terjauh."

"Kita enggak tahu isi pemikiran orang-orang, Lucas."

"That's the point! Lo udah jawab sendiri. Gue cuma antisipasi sebelum antipati."

"Setop kalian berdua. Oke, mulai hari ini gue akan kasih dia nama Achila Maharani Pramudia," ucap Alenza final menghentikan pembicaraan detik itu juga.




.
.
.
.

Vote & komen!



























Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang