dua puluh empat

793 107 4
                                    

Oke. Otak Alenza seperti puzzle yang berusaha menyusun bagian-bagiannya. Perkataan ibunya sempat susah dicerna akibat rasa syok dan sekarang ia mengerti tentang teka-teki penemuan Achila.

Tak terpikirkan bahwa ibunya masih punya kunci rumahnya. Jelas saja, rumah ini adalah rumah ibunya. Mungkin karena faktor ditinggalkan selama tujuh tahun lebih Alenza lupa tentang hal itu. Ia pikir setelah ditinggal, ibunya akan lupa segala hal mengenai dirinya.

Mengapa bisa lupa? Bisa. Ditinggalkan secara tiba-tiba oleh ibunya saja bisa.

"Kalau ini anak ibu, kenapa ibu membawanya ke sini?" Alenza melemparkan pertanyaan yang tak pernah ia mengerti.

Maharani—ibu Alenza tertunduk. Seperti tak bisa memaparkan jawaban dari pertanyaan anak sulungnya.

"Ibu melakukan lagi, untuk kedua kalinya?" Alenza menjeda, "dengan uang lima puluh juta enggak akan bisa menutupi rasa sakit atas perbuatan ibu. Dia masih kecil. Aku cuma seorang pelajar, bahkan kehidupan sehari-hari aku pun dibiayai oleh adik ibu sendiri."

"Ibu mengakui, Za, ibu sangat mengakui itu...dan ibu minta maaf. Rumah tangga, kesalahan ibu terulang kedua kalinya. Kamu tau, Za, sekarang ibu menjadi musuh bagi keluarga...jika ibu titipkan adikmu pada mereka, lebih dari segudang cacian akan ibu dengar. Dan, saat itu ibu belum siap," jawab Maharani. Kini wanita itu meraih kedua tangan Alenza dan mengusapnya lembut, seperti menyalurkan permintaan maaf yang tak terkira.

"Ibu mengalami konflik dengan ayah adikmu akibat kekerasan dan perselingkuhannya. Di benak ibu hanya kamu satu-satunya harapan untuk menjadi atap sementara bagi dia. Bukan hanya takut cacian, tapi ibu lebih takut akan menyakiti adikmu secara fatal, karena ibu mengalami stres berkepanjangan..," Air mata itu turun, Maharani tak bisa menahannya lagi. Rasa penyesalan mungkin telah membungkus dirinya saat ini.

"Maaf, Nak, maaf. Terlalu banyak kesalahan ibu padamu. Ibu tahu apa yang dialami tidak seberapa jika dibandingkan dengan kamu. Ibu pun sudah berjanji, setelah lebih dari satu bulan ibu akan kemari juga membawa adikmu kembali."

"Kembali? Ibu mau menghilang lagi, dan ninggalin aku?"

"Enggak," balas Maharani tegas. "Kita tinggal bersama, tapi enggak di sini."

"Tapi, aku enggak mau pindah."

"Kenapa? Ibu mau buka lembaran baru. Mungkin kamu juga, terlalu banyak kenangan enggak baik di sini."

"Aku enggak masalah, bu. Udah cukup bagi aku ibu pulang. Aku lihat ibu lagi. Mungkin nanti aku berkunjung ke rumah ibu," ucap Alenza meyakinkan. Maharani tersenyum lembut dan mengangguk.

Lama mereka saling bertemu pandang, menatap kepiluan yang sama, dan akhir bersuanya mereka yang sudah tidak menyisakan tanda tanya. Bukan hal kebencian yang Alenza inginkan, melihat wajah ibunya lama kelamaan membuat gengsi menjadi luluh lantak. Apalagi ketika mendengar kekerasan dan perselingkuhan, ingin sekali Alenza menyiapkan ring tinju dengan pria berengsek itu. Ditinggalkan selama bertahun-tahun, mungkin tak akan sebanding dengan pengorbanan ibunya yang sudah melahirkan dan membesarkannya.

"Ibu terlalu terlena akan dunia yang fana sampai bisa ninggalin kamu. Maaf bagi ibu enggak akan pernah cukup, tapi ibu berusaha untuk memperbaiki."

Alenza memeluk tubuh ibunya. Selama ini ia berusaha tegar, namun siapa yang tahu kalau ternyata ia benar-benar rapuh. Selalu terlihat sembrono, tapi hatinya mudah lunak.

"Teman kamu laki-laki semua? Fotonya banyak," tanya Maharani ketika melihat beberapa pigura tersimpan di atas meja. Di sana terpasang wajah Lucas, Doris dan Jinan.

"Iya."

"Eh?" Seperti sadar akan sesuatu Maharani mengambil fotonya, lalu memperhatikannya saksama. "Ini Jinan?" tanyanya.

Alenza menautkan kedua alis, aneh, mengapa ibunya bisa tahu nama temannya. "Iya," jawabnya, dibarengi mengangguk.

"Kok, bisa kebetulan?"

Kali ini ia bingung. "Kebetulan apa?"

"Dia anak mantan suami ibu, atau kakak kandungnya Achila, adikmu."

"Hah?"

Fakta apalagi ini, Tuhan....


****


Mengurung diri di ruangan kamarnya  itulah yang Dewa lakukan sekarang. Mengabaikan segala sahutan teman-temannya yang datang dan mengetuk pintu puluhan kali hanya dianggap sebagai angin lalu saja.

Dewa merenung dengan duduk di atas lantai dingin. Benak memutar di sebatas mengapa, dan menyayangkan atas tindakan dari papanya. Citranya sangat hancur lebur. Tidak ada sanjungan lagi dan yang ada hanyalah makian. Perbuatan korupsi memang sangat hina.

"Dewa, ayok mabar." Sudah berapa kali Abim membujuk. Di balik pintu itu selain Abim, ada Galih dan juga Dirga. Mereka saling bersenggolan, mendiskusikan hal apa yang membuat Dewa tertarik supaya pintunya dibuka.

Bahkan, Abim dan Galih pun sudah tahu fakta tentang Dirga dan Dewa yang ternyata pernah menjadi saudara tiri. Memang dari awal tidak ada satu pun orang yang mengetahui itu.

"Kalau enggak mabar, nobar mau enggak?" Sekarang Galih yang menawarkan. Mereka hanya takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Ketika orang merasa emosional atau melankolis dengan posisi menyendiri, tidak ada yang tahu ia akan berbuat apa, yang dikhawatirkan adalah hal fatal. Setan selalu tersedia di berbagai sisi.

Kamar Dewa terletak di lantai dua. Jadi, akan sukar apabila menjangkau jendela kamarnya. Tak mungkin 'kan harus melemparkan benda keras ke arah jendela, niat yang asalnya membantu malah jadi aksi kejahatan teror meneror.

"Dewa, mama suruh gue bawa lo ke rumah. Rumah gue juga punya lo. Lo enggak sendiri. Lo masih punya orang tua pengganti papa," ucap Dirga. Tapi tetap tak ada sahutan apapun dari dalam kamar Dewa.

Galih membuka sosial media di ponsel pintarnya. Melihat kolom komentar di akun milik Dewa sudah dipenuhi bermacam-macam hujatan. Kebanyakan dari mereka memakai akun palsu, sebagian besar juga dikomentari oleh para lelaki dengan ketikan pedas mereka, tak sedikit juga perempuan yang melayangkan komentar rasa kecewanya pada Dewa.

"Gila. Jangan sampai Dewa baca komentar di ig, bikin tambah down aja."

Dirga mengambil alih ponsel Galih. Jarinya menggulir layar, membaca setiap komentar yang masuk. Angkanya selalu bertambah tiap beberapa menit sekali. Hanya ada sedikit komentar positif, seperti memberikan semangat dan lain hal namun sayangnya semua itu tertutup.

"Dewa gue serius. Buka pintunya. Lo sama sekali enggak salah. Itu pure kesalahan papa, kita enggak pernah tahu masalah itu, dan persetan sama omongan mereka."

Dirga menyerah. Ia lebih memilih untuk menunggu daripada mengeluarkan bujukan yang jelas Dewa tak menggubrisnya sama sekali.

Abim dan Galih pun izin pamit untuk pulang, masih dengan kekhawatiran namun mereka menyerahkan masalah Dewa pada Dirga. Sebelumnya Abim pun membisikkan sesuatu pada Dirga untuk tidak perlu terlalu keras pada saudaranya.

"Nanti kalau lapar juga keluar sendiri," katanya.

























.
.
.
.
.

Bagian selanjutnya akan segera datang.

Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang