Lucas
Sejak kapan lo bisa bohongin kita?
Jawab
Alenza Maharani
Alenza hanya bisa menatap layar ponselnya. Setiap bubble chat yang dikirim oleh Lucas, membuat geretakan dalam diri terutama kalimat terakhir—bagian Lucas mengetik nama lengkapnya.
Ia tahu, bahwa Lucas sudah marah—sangat.
Inilah alasannya mengapa Alenza ingin cepat pergi dari sana. Pasti, akan ada orang yang memberitahu—terutama Dewa serta babu-babunya. Alenza tak berani untuk menatap mata dari temannya satu per satu.
Alenza memang tak pernah percaya pada musuh bebuyutannya itu.
Musuh dipercaya sangatlah kecil kemungkinannya.
Alenza tahu bahwa ini kesempatan yang Dewa nantikan, memecah belah untuk membuat keributan di dalam circle pertemanannya.
Lucas
Gue tahu lo udah baca pesan ini
Alenza semakin menghela napas. Laporan tanda baca pesan memang sengaja tak diaktifkan, tapi percuma saja rasanya. Seharusnya ponselnya yang tak diaktifkan untuk beberapa hari ke depan.
Buka pintu. Jangan sampai gue dobrak dan bikin keributan
Terakhir pesan yang masuk, sukses membuat kedua matanya membelalak.
"Za...." Suara Jinan terdengar menyusup pada indra milik Alenza. Tapi dirinya tetap tak bergerak di atas tempat tidur.
Alenza
Itu keputusan gue sendiri
Egois
Ya gapapa
Yang terlibat bukan lo doang
Monyet
Ya.tk.
"Nana bawa seblak Teh Mila."Pintu tiba-tiba terbuka.
"Mana seblaknya?" Dibalik pintu Alenza berdiri, tak menghiraukan mereka—ah lebih tepatnya Lucas yang sudah menatapnya sengit. Atensi Alenza hanya pada Jinan seorang.
"Ya ampun, makasih loh..," ucapnya membawa kantong yang dijinjing oleh Jinan sedari tadi.
Lucas berdecak dan langsung masuk ke dalam rumah melewati Alenza tak acuh.
"Hey. Gue 'kan belum beri izin lo buat masuk."
"Lo buka pintu, berarti lo welcome." Lucas memutar bola matanya. "Lagipula, seblak itu umpan dari kita, biar lo buka pintunya! Dan bener 'kan...."
Doris menggaruk kepalanya kesal. "Udahlah. Gue pengin makan seblaknya," katanya sembari melangkah masuk, namun pergerakannya dicegat oleh makhluk ciptaan Tuhan berjenis kelamin perempuan.
"Lah? Itu kan seblak gue, kenapa lo mau! Beli aja sendiri."
"Heh, nyet. Kita juga beli kali! Dan mau makan di sini!"
Alenza beralih memandang Jinan, lalu lelaki itu hanya tersenyum dan memperlihatkan jinjingan yang sedari tadi tersimpan di balik tubuhnya.
"Nza enggak akan makan sendirian."
Dan Alenza hanya bisa pasrah.
***
Setumpuk kekesalan sudah berada di puncak kepala Alenza. Rasanya ingin meledak, namun ia hanya bisa membendungnya. Gila. Sedari tadi dirinya hanya bisa menunduk—takut—risih sambil memakan seblak sendok demi sendok.
Alenza duduk dikelilingi oleh teman-temannya yang juga berkegiatan sama dengan dirinya, namun yang membuat risih adalah pasang mata mereka selalu memperhatikan gerak-geriknya.
Sumpek.
Mata setan.
"Kenapa, sih? Gue terlalu cantik, huh?" ketus Alenza, menatap sinis satu per satu, ah—kecuali untuk Jinan, merubah sedikit lebih lunak.
Tidak ada yang menjawab. Lucas, Doris, bahkan Jinan pun tak mengacuhkan Alenza, mereka hanya memakan makanannya.
Alenza mengepalkan tangannya. Kesal. Ia berdecak. "Ya udah sih skorsing satu minggu enggak masalah buat gue."
"Ya udah berarti gue pun ikut skorsing."
"Gue juga."
"Nana juga."
Alenza mendelik. Apa-apaan. "Gila. Enggak lah, gue yang bermasalah, cuma gue yang resmi skorsing. Lagian kalau kalian ikut-ikutan, gue gak bakal terima."
"Kenapa?" Jinan bertanya.
"Jelas inti masalah ada di gue, Na. Udahlah, santai kayak di pantai selatan."
"Pake baju ijo," celetuk Jinan.
"Jadi santapan Nyi Roro Kidul, dong," balas Alenza setengah kesal, lalu tertawa.
Saat tengah tertawa-tawa, mata Alenza tak sengaja melirik Lucas, dan kebetulan Lucas juga tengah memandangnya, namun detik kemudian lelaki itu dengan cepat beralih pandang dengan memutar bola matanya sinis.
Tawa Alenza terhenti. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya.
Lucas, Lucas, memang keras kepala.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaladuta [SELESAI]
Teen FictionAlenza Maharani, menemukan seorang bayi perempuan di dalam rumahnya. Terkejut bukan main. Lenza berusaha mencari siapa yang membawa bayi itu ke rumahnya. Tapi nihil, membuatnya mau tak mau harus mengurus bayi itu. Dirinya berusaha menutupi soal bay...