Hubungan antara Dirga dan Dewa kini merenggang. Sejak kejadian itu keduanya tak pernah lagi saling bertemu, bahkan mama Dirga berniat bersua dengan anak tirinya itu pun selalu diabaikan. Pintu rumah Dewa tertutup rapat-rapat. Pelayan rumah tangga pun sudah berhenti beberapa hari yang lalu dan tinggallah Dewa seorang diri.Pilihan tak masuk sekolah Dewa lakukan. Dirinya seperti tak bisa pasang muka di hadapan teman-temannya. Obat tidur menjadi teman setianya, serta Dewa pun mulai menyentuh minuman beralkohol dan mabuk menjadi sebagian rutinitasnya.
Satu orang telah runtuh, menyisakan seseorang yang tak lagi utuh. Dewa lebih baik menghancurkannya, daripada menyusun kembali kepingan demi kepingan yang sudah tiada artinya lagi.
Saat ini Dewa tengah duduk di atas trotoar, dengan lampu jalan tepat di atasnya, di sampingnya terdapat motor yang menjadi kendaraannya. Jalanan pun tampak sepi. Wajar, ini sudah memasuki pukul 10 malam, dan ini adalah jalanan pintas tak banyak lalu lalang karena mungkin orang-orang sekitar sudah sampai di mimpinya masing-masing.
Dewa tak berhenti meneguk minumannya. Lalu beberapa lelaki yang setara dengannya datang, salah seorang menghampiri Dewa seperti merasa tertarik untuk sesuatu.
"Minum, kok, sendirian, bagi lah bareng-bareng," katanya. Tapi Dewa membalasnya dengan terkekeh.
"Modal, bos," timpal Dewa.
Terpancing karena perkataan Dewa, lelaki itu meninju wajah Dewa sampai jatuh terbaring. Merasa tak ada yang beres, tak lama teman-teman dari lelaki itu menghampiri dan ikut memukuli Dewa.
"Kurang ajar, jangan belagu jadi orang!"
Banyak pasang kaki yang menginjak-injak tubuh Dewa dengan napsu dan kepuasan. Dewa memeluk tubuhnya, melindungi kepalanya, matanya memejam tak berdaya dan bisa pasrah diberlakukan seperti itu.
Tapi suara sirene menghentikan pergerakan mereka dan tanpa pikir panjang mereka lari tunggang langgang. Namun, salah satunya malah menaiki motor Dewa dan melaju begitu saja. Dewa terbatuk-terbatuk sembari memegangi perutnya. Wajahnya pun sudah babak bundas.
"Gue putar suara sirene ambulans padahal, bukan polisi. Bego juga mereka, mana ada polisi masuk sini. Gitu emang otak kriminal akut." Alenza turun dari motornya, dan langsung menghampiri Dewa. Membantu lelaki itu berdiri dan menuntunnya untuk naik ke motornya. Alenza tak mengeluarkan sepatah katapun pada Dewa, atau biasanya orang-orang sekadar bertanya seputar keadaan, seperti 'enggak apa-apa?' itu adalah pertanyaan retoris. Padahal yang bertanya tahu bahwa si korban jauh dari kata, enggak apa-apa.
Alenza menarik kedua tangan Dewa untuk dilingkarkan ke pinggangnya supaya tak jatuh. Namun dirinya sedikit terkejut ketika Dewa memeluknya erat. Bisa dikatakan Dewa cukup kuat akan kesadarannya, sesudah habis-habisan dipukuli, dan sebelumnya ia juga meminum tandas beberapa botol alkohol.
****
Jarak terdekat adalah rumahnya. Kebetulan hari ini Maharani ada di rumah, jadi Alenza tak perlu khawatir bila Dewa masuk ke dalam rumahnya untuk diobati.
Niat keluar malam Alenza adalah membeli pecel lele, tapi akhirnya yang ia bawa pulang ke rumah adalah seorang manusia paling menyebalkan.
"Kok, bisa temanmu luka begitu?" Maharani merasakan ngilu ketika melihat wajah Dewa yang lebam.
"Berantem. Dia juga habis minum, tuh."
"Pantesan, ibu kira ada yang salah sama indra penciuman ibu. Ngeri, ya, Za. Ibu bikin teh, juga sup hangat dulu, kasian dia." Setelah Maharani berlalu ke dapur berniat membuat sesuatu untuk Dewa, Alenza memberikan minum pada Dewa.
Walaupun mata Dewa tak sepenuhnya terbuka, tapi ia masih dalam keadaan sadar. Tangan Alenza tiba-tiba terhenti kala dirinya ingin menyingkap baju Dewa untuk mengobati lukanya, namun setelah berpikir dua kali ia pun melanjutkannya dan melihat perut Dewa terdapat banyak lebam.
Alenza mencoba mengompresnya, Dewa sedikit merintih kesakitan dan hal itu refleks membuat Alenza mengikutinya seakan ia juga merasakan sakit yang sama.
"Tahan, ya..," ucap Alenza tanpa sadar.
Dewa memegang tangan Alenza. Ia menatap gadis yang ada di bawahnya dengan penuh makna. Alenza tentu sempat kaget, matanya teralihkan pada Dewa yang kini mereka saling bertukar pandangan.
"Makasih." Hanya itu yang Dewa ucapkan, namun mampu membuat Alenza terhipnotis beberapa saat.
Maharani membuka pintu, bahkan Alenza tak sadar ada yang mengetuk pintu akibat tenggelamnya pikiran dengan lelaki yang ia obati saat ini.
"Eh, Jinan, ya?"
"Iya, Tante."
Alenza berbalik dan melihat Jinan yang berdiri di ambang pintu sambil menjinjing sebuah kantong hitam.
"Oh, ada Dewa...." Jinan tak sengaja melihat Dewa yang terbaring di atas sofa dengan posisi menghadap ke arah pintu. Jaraknya lumayan dekat jadi wajahnya terekspos sempurna bagi siapa saja yang datang dari sana.
"Masuk, Nak," ajak Maharani mempersilakan.
"Enggak apa-apa, Tante. Nana cuma mau kasih ini."
"Apa itu?" Alenza bertanya.
"Pecel lele, tau dari instastory," jelasnya. "Nana pamit, ya. Selamat malam."
Padahal Alenza ingin berbicara lebih, namun Jinan seperti terburu-buru. Ah, tentang instastory itu memang ia sempat menyebutkan keinginannya di sana, maka dari itu Jinan mengetahui seperti yang sudah disebutkan.
Tapi, Alenza pun merasa kalau Jinan bersikap aneh kembali. Terlalu kentara. Apalagi ketika melihat wajah Dewa.
Nana gitu karena syok liat Dewa si musuh biang kerok di sini?
Mengingat sikap Jinan berbeda dengan temannya yang lain, lebih dewasa dan lebih santai, seharusnya ia bertanya bukan tentang Dewa mengapa bisa di rumah Alenza, daripada menunjukkan raut wajah yang bisa membuat Alenza berpikir dengan asumsi yang tidak-tidak.
.
.
.
.
.Bagian selanjutnya akan segera datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaladuta [SELESAI]
Teen FictionAlenza Maharani, menemukan seorang bayi perempuan di dalam rumahnya. Terkejut bukan main. Lenza berusaha mencari siapa yang membawa bayi itu ke rumahnya. Tapi nihil, membuatnya mau tak mau harus mengurus bayi itu. Dirinya berusaha menutupi soal bay...