dua puluh delapan

759 91 2
                                    

Untuk memanipulasi penculikan, salah seorang mengendarai motor Alenza dan memarkirkannya di pekarangan rumah. Tapi, aksi darinya mencuri atensi Dewa dan mengintip dari balik jendela.

Hanya ada Dewa di sana. Maharani menitipkan rumahnya pada Dewa, karena ada urusan mendadak dalam pekerjaannya.

Dewa bergegas keluar, namun lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil hitam. Tak ingin ketinggalan, walaupun ia belum pulih sepenuhnya Dewa mengambil motor Alenza dan mengejar mobil tersebut.

Dipikirannya hanya satu. Ke mana Alenza sang pemilik motor, mengapa orang lain yang mengantarkannya. Curiganya, orang tersebut langsung lari tunggang langgang dan masuk ke dalam mobil.

Sayangnya sekarang Dewa tercegat lampu merah, mobil itu sudah melaju cepat. Ia merutuki diri sendiri, datangnya lampu merah sangatlah tidak tepat waktu.

Begitu lampu hijau menyala, Dewa melanjutkan aksi kejar-mengejarnya. Sampai ia menemukan mobil yang dimaksud dan menggeprak kaca jendela pengemudinya.

"Berhenti, lo!"

Mobil itu berhenti mengesamping. Dewa turun dari motornya dan mengetuk-ngetuk kaca tak sabaran. Begitu kaca dibuka, Dewa mengabsen satu-satu yang ada dalam mobil tersebut, namun anehnya ia tak menemukan seseorang yang ia cari.

"Mana orang yang tadi antar motor itu," tanya Dewa, sembari menunjuk ke arah motor Alenza.

"Enggak ada. Kita enggak tahu maksudnya apa? Kenal sama Mas nya aja enggak."

Dewa menyipitkan matanya. Bagai melemparkan tatapan intimidasi dari beberapa orang yang ada di dalam sana. Setelah berpikir seperkian detik,  Dewa berkata. "Oke. Saya minta maaf atas kesalahpahamannya. Terima kasih."

Mobil itu pun melanjutkan perjalanannya lagi. Namun, Dewa masih dibuat kebingungan. Ia tak mungkin salah, jelas-jelas dari mobil, warna, sampai plat nomornya saja sama, tapi mengapa seseorang yang ia cari tak ada di tempat.

Sedang di sudut pandang lain, orang-orang dalam mobil itu tertawa lepas seperti bahagia karena berhasil mengelabui Dewa.

Dewa tak tahu bahwa membiarkan  satu menit saat terjadi lampu merah tadi adalah kesalahan besar. Dengan mudahnya orang-orang itu mengelabui dengan mengganti mobil bersama komplotan lain. Sungguh, rencana yang sangat matang.

****

Alenza membuka matanya, tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Ingin menggerakkan tubuh, namun ternyata tangan serta kedua kalinya diikat sempurna.

Di ruangan yang cukup gelap, Alenza duduk di bawah satu lampu, cahaya itu menyorotnya penuh sedangkan beberapa orang terdengar menertawainya, ini terlihat seperti sebuah pertunjukkan dengan Alenza yang menjadi pemeran tunggal.

Salah satu dari mereka menghampiri, membuka kantong kain hitam yang membungkus kepala Alenza. Rambut legamnya sudah tak karuan, bibirnya ditutup dengan lakban, mata Alenza tak berhenti menatap tajam sang lelaki di sampingnya, menahan napsu memukul yang menggebu-gebu.

"EMM!" Berusaha memekik walau dibungkam, kursinya Alenza gerakkan dan memberontak sebisa mungkin. Namun yang ada hanyalah terdengar suara tertawaan di sekitar. Tapi Alenza tak melihat yang lainnya, karena keadaan di depannya begitu aram temaram. Ia sama sekali tak mengerti alasan dari semua ini.

Plis, gue miskin kalau ini penculikan tebus duit.

Tangan lelaki itu membuka kasar lakban yang menutup bibir Alenza. Alenza sedikit mengaduh. "Sakit, bego!" umpatnya.

"Ini ada acara apa, sih? Pake bawa-bawa gue segala. Ya ampun, gue masih anak kecil."

Tiba-tiba satu tamparan melayang ke pipinya. Alenza terdiam sejenak, terkejut atas apa yang dilakukan oleh lelaki itu.

"Jalang," cercanya. Kemudian berlalu.

"What?"

"Keluar. Bagian bos yang masuk," ucap seseorang yang Alenza tak tahu siapa, seperti menginstruksikan kepada yang lain. Setelahnya, ramai ramai terdengar suara langkah kaki semakin jauh yang artinya mereka menuju keluar ruangan.

"Woi! Lepasin, gue!"

Tapi tak lama terdengar suara langkah masuk bergema yang kali ini lebih pelan. Adrenalin dalam diri Alenza semakin menjadi, ada kepanikan dan rasa takut yang saling berpacu.

Dari langkahnya saja Alenza sudah membayangkan yang tidak-tidak. Dimulai psikopat sampai seorang mafia yang akan membunuhnya hidup-hidup di tempat ini sekarang juga.

Mata Alenza memejam. Berharap seseorang membantu mengeluarkannya dari tempat sialan ini.

"Hai, Za."

Deg. Alenza mengenal suara ini. Ia membuka matanya perlahan, dan tampaklah wajah lelaki yang sangat ia kenal.

"Nana?"

****

Setelah mengetuk untuk kedua kalinya, pintu itu pun terbuka dan tampaklah Doris di sana mengenakkan kaos hitam dan celana pendek selutut. Ia menautkan alis kala melihat seseorang yang datang.

"Dewa?" katanya. "Tau alamat gue dari mana?"

"Enggak penting. Relasi gue banyak," jawabanya. "Alenza di rumah lo?"

Dahi Doris mengerut, lalu ia menggeleng bingung. "Dia pulang, walau gue jalan duluan. Emang belum ada?"

"Gue enggak akan nanya kalau dia ada di rumah."

Oh, Doris lupa bahwa Dewa tinggal di rumah Alenza karena kejadian semalam.

"Motornya ada, tapi diantar sama orang gak dikenal." Dewa mulai membicarakan. "Gue enggak tahu alasan orang itu antar motor tanpa pemiliknya, dan gue mulai curiga waktu gue keluar orangnya langsung lari masuk ke mobil," jelasnya. Dewa mengacak rambutnya kesal. "Tapi sial, waktu gue dapat mobil itu, si pelaku gaada di sana."

"Wait, gue telepon."

"Udah. Tapi gak diangkat."

"Ponselnya pasti silent lagi," ucap Doris malas. "Gue lacak, deh, kebetulan dia install aplikasinya juga jadi gampang."

Di saat yang bersamaan Doris yang sudah mendapatkan lokasi Alenza berada, Dewa tiba-tiba mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal.

+62821xxxxxxx

(Send a picture)

| datang ke jalan xxx.
| 🤡

"Dia ternyata ada di—" Omongan Doris terpotong saat Dewa mengumpat keras.

"Bangsat!" Tanpa pikir panjang Dewa bersiap menstarter motor Alenza kembali.

"Lo mau ke mana?"

"Alenza dalam bahaya, dia diculik."

"Hah?"



















.
.
.
.
.

Pengkhianatan dimulai dari keegoisan diri. Hati-hati, itu bisa jadi penyakit diri gengs.

Kepercayaan itu mahal.

Bagian selanjutnya akan segera datang.

Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang