lima belas

1.1K 135 7
                                    


Dari atas Dewa memperhatikan seseorang yang tengah memasak.  Pakaiannya masih menggunakan setelan formal kantoran yang juga memakai celemek merah maroon. Sesaat ia menikmati pemandangan tersebut. Menunggu masakan dari orang tersayang memang hal yang menyenangkan.

"Sini, nak, ke bawah." Karin, mama tiri Dewa, memanggil anaknya itu yang hanya terduduk sembari memperhatikan dirinya. 

"Nih, menunya kesukaanmu. Kangkung, tahu, tempe, sambel nya juga ada," kata Karin, sambil sibuk memindahkan beberapa piring ke meja makan. Lalu mengambil piring untuk putranya. "Mau nasi biasa atau liwet? Tapi liwetnya belum matang, paling sebentar lagi juga matang."

"Iya, liwet aja," balas Dewa, lalu mengambil satu tahu dan menggigitnya.

"Udah dikompres yang lebamnya?" tanya Karin, Dewa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja sebagai jawaban.

"Kok, bisa sampai luka begitu?"

"Berantem."

"Gara-gara apa? Percintaan remaja?"

"Gak."

"Terus apa? Kok sampai sebegitunya."

"Orang aneh cari masalah aja."

"Masa, sih?"

"Ya."

Tak tak tak.

Dirga turun dari tangga, menghampiri meja makan. Ia duduk di salah satu kursi dan mengambil dua potong tempe, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Dewa sempat melongo melihat cara makan adik tirinya itu. Sebelumnya Dirga tak pernah menunjukkan cara makan yang rakus di depannya.

"Gak usah aneh." Dirga sadar bahwa Dewa sedari tadi mengamatinya. Lelaki itu kemudian mengambil piring dan mengambil nasi.

"Mau coba liwetnya?" tanya Karin pada Dirga, sesudah membawakan mangkuk besar berisi nasi liwet yang masih panas.

"Lagi enggak mau."

"Oke."

Karin melepaskan celemeknya, dan menarik kursi di dekat Dewa. Mengambil nasi untuknya dan juga Dewa.

"Makasih, ma." Dewa menerima piringnya sedikit canggung. Sudah lama tak diperlakukan seperti itu.

"Sering-sering main ke sini, ya..," tutur Karin. Dewa hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Jika diceritakan masa lalu, Karin menikah dengan Derry—papa dari Dewa pada tahun dua ribu dua, di mana masing-masing dari mereka membawa anak lelakinya. Dewa dan Dirga lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama, namun yang membedakan hanya waktu dan rahimnya saja.

Karin dan Derry menikah saat usia putra mereka menginjak lima bulan. Karin yang bercerai, dan Derry yang ditinggal mati. Keduanya memutuskan menjalin hubungan, dan berjanji menganggap anak tiri mereka sebagai anak mereka sendiri.

Namun sayangnya hubungan mereka harus berhenti di tengah jalan, ketika anak mereka menginjak usia enam belas tahun, dan menceritakan segala kisah yang sebenarnya.

"Apa perlu mama bicara sama kepala sekolah atas kejadian ini? Luka kamu enggak sedikit." Karin meneliti luka yang didapat Dewa. Ia juga bisa merasakan sakit yang dialami, merasa kasihan, karena pengaruh sentimentalnya.

"Enggak perlu, ini masalah kecil."

"Oke. Nanti mama bantu obatin."

***

Alunan musik berputar di telinga Dewa. Matanya fokus pada benda pipih persegi panjang itu dengan ibu jari yang terus menarik turunkan layar. Entah apa yang dilihatnya, tapi bibirnya sedari tadi sedikit terangkat—tersenyum tipis.

Ceklek!

Pintu dibuka dan Dirga yang berjalan masuk ke dalam kamar saudaranya.

"Salah masuk kamar lo!" ujar Dewa, namun Dirga tak acuh.

"Woy!" Kali ini Dewa melempari sebuah bantal kecil.

"Cari kepala charger."

"Oh."

Dewa kemudian beralih lagi pada ponselnya. Namun beberapa detik setelahnya ia kembali terusik kala kasurnya bergerak. Ia melirik ke arah samping dan mendapatkan Dirga tidur membelakanginya.

"Anjir, ngapain lo tidur di tempat gue?" tanyanya sambil terduduk, melotot ke arah Dirga, namun lelaki itu tetap masih membelakangi.

"Ikut charger."

"Di kamar lo bisa babi. Emang gak ada stop kontak?"

"Ada."

Dewa berdecak kesal. "Ya terus ngapa di sini?"

"Jauh."

"Pake terminal listrik, lah!"

"Rusak."

"Ih si bangsat...." Dewa menghela napas. Ia kembali ke posisi awal, menyelonjorkan kedua kakinya.

"Berarti selama ini kamar gue suka diisi lo, dong," tutur Dewa terdengar menyindir.

"Colokan rusak kemarin. Besok beli."

"Bodo amat, besok gue pulang."

Hening. Tak terdengar percakapan lagi. Keduanya sama-sama sibuk dengan benda yang ada pada genggaman tangan. Dewa sedikit merasa tak nyaman, netranya terus melirik ke arah samping.

Tubuhnya perlahan mendekat. Posisinya ia ubah sedikit terangkat bersandar pada dinding kasur dan mengintip layar ponsel Dirga, namun lelaki itu sepertinya menyadari tingkah Dewa.

"Tumben banget sibuk hp. Main apa lo?"

"Kepo."

Oke. Dewa kembali diam, ia mengejek Dirga dari belakang.

"Btw, kenapa lo nyuruh seseorang buat mengintai si Alenza?" Dirga bertanya, berubah posisinya ke arah Dewa.

"Kepo."

Skakmat. Dewa membalikkannya, namun pertanyaannya dari Dirga berhasil membuatnya gugup seketika.

"Lo mampu lakukan sendiri, kenapa harus orang lain?" tanya Dirga. Dewa sempat terpaku. "Sekalian belajar. Lo mau jadi agen Intel 'kan?"

"Enggak lah, bego," sambar Dewa menepuk kepala Dirga. Jelas hal itu membuat Dirga membalas dan langsung sedikit menjauh dari saudaranya.

Hening—lagi. Merasa cukup dengan perdebatan. Dirga yang sebal, dan Dewa yang termenung  mereka diam dalam satu tempat.

"Btw, gue udah coba chat si Alenza. Jutek banget. Ya...wajar, sih karena lo suka ganggu mereka. Gue enggak ganggu, tapi gue ada dalam circle lo. Jadi susah untuk komunikasi," ujar Dirga, sembari memperhatikan chat room-nya, dan melihat dua tanda ceklis biru atas pesannya, tanpa ada bubble chat balasan selanjutnya.

"Ya...syukur, deh."

"Hah, gimana?" Dirga berbalik, dahinya mengerut.

"Ya udah kalau susah, gak usah," tukas Dewa.

"Maksud, lo?" Satu alisnya terangkat. "Lo mau main-main sama gue?" ketus Dirga.

"Sesuai janji, gue kasih nomor Falensya. Tapi, gue tarik syarat tentang lo yang harus dekat sama Alenza."


.
.
.
.
.

Ada apa, sih? wkwk

Vote, Comment!╰(^3^)╯

Maaf, kalau lama update karena lumayan sibuk sm tgs akhir menuju UAS🥲

Kalau kalian antusias, aku usahakan untuk update cepet

Terima kasih!














Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang