tujuh

1.6K 172 5
                                    

Sepulangnya Alenza dari ruang kesiswaan, disepanjang jalan menuju kelas dirinya terus menjadi pusat perhatian. Biasanya mereka menaruh tatapan segan, namun kali ini tatapan dari mereka tampak sinis dan jijik, seakan orang yang melewati mereka ada sebuah sampah yang busuk dan tak berarti. Gunjingan Alenza dapatkan, namun ia terus berjalan tanpa memedulikan mereka semua.

Ia hanya berjalan sendiri. Alenza berusaha berdiri tegap dan kokoh. Tak ada Lucas, Doris maupun Jinan yang mengikuti. Ia benar-benar seorang diri.

Memenuhi panggilan dari kesiswaan memanglah bencana. Suatu kesialan yang teramat buruk. Berita yang tersebar bukanlah sebuah fakta.

Fotonya memang benar.

Tapi tidak untuk untaian kalimat yang disajikan mendampingi foto tersebut.

"Emangnya masuk akal, ya, kalau dia itu pernah tekdung? Gue, sih, selama ini nggak pernah lihat yang mencurigakan dari perutnya," ujar salah satu siswi, bersandar pada tembok, memandang Alenza dari kejauhan.

"Bener, tuh! Perutnya selalu rata. Body goals banget, deh," sahut temannya yang lain.

"Hilih...zaman sekarang 'kan serba gampang, kebanyakannya muslihat. Kehamilan itu bisa disembunyikan. Menurut berita yang gue baca, anak sekolah pun ada, loh, hamil tua tapi kayak normal aja, gitu. Ketahuan dia hamil tuh pas dia ngadu sakit di perutnya. Mungkin, kalau urusan besar perut atau enggaknya, ya...tergantung badan." Siswi berambut panjang, sembari duduk dengan kakinya bertumpu ke kaki lain menimpali, ia menjeda ucapannya, mengambil napas banyak, akibat bicaranya yang terlalu cepat dan bersemangat.

"Enggak menampik, kalau pernyataan dari berita dia itu benar. Apalagi, kalau hamil di luar nikah, ya...pasti gampang dan lancar lah urusan hamil dan melahirkan. Tuhan mungkin enggak meridhoi wanita yang hamil di luar nikah, untuk merasakan sakit dan ribetnya urusan hamil. Karena itu merupakan suatu anugerah yang tak ternilai," sambungnya.

"Oh, mungkin benar juga. Kebanyakan sih tekdung di luar pernikahan, lahiran di mana aja dengan gampangnya sesudah lahiran bisa jalan normal. Gue waktu itu pernah baca artikel, wanita yang melahirkan dan buang anaknya di toilet bandara."

"Ya...kemungkinan besar, si Alenza mengalami kayak gitu."

"Jangan ngada-ngada, ya, bangsat." Lucas sudah bertengger di samping mereka. Dirinya menatap sekumpulan para siswi itu dengan rendah dan sinis.

Para siswi yang sempat bergosip ria itu seketika ciut, dan mereka menunduk, terlihat gugup. Lucas masih menatap mereka, sedang Doris—tepat di belakang Lucas sudah menahan tawa.

Lucas mengalihkan pandangnya pada baju di lengan mereka, terdapat angka romawi X, disetiap lengan siswi di hadapannya itu. "Dengar wahai adik kelas terhormat, opini lo semua tadi itu terdengar sangat anjing. Sebelum lo tahu kebenarannya, mending diem, deh. Daripada berakibat menambah kemuraman di wajah, karena dosa yang telah diperbuat. Sia-sia banget skincare-an selama ini buat bisa glowing."

"I-iya, maaf, kak."

"Gue bukan lantai, ya." Kaki Lucas menghentak.

Akhirnya siswi itu mengangkat wajah, menatap ragu dominan takut. "Maafkan kami, kak."

Lucas mengangkat dagu, mengisyaratkan agar beberapa siswi yang berhadapannya kini segera pergi. Akhirnya, dengan langkah yang masih takut-takut para adik kelas itu berlalu, dengan sedikit sumpah serapah.

"Sialan. Kalau mereka cowok, udah pasti gue kasih bogem mentah."

"Cowok gosip di-chat." Doris menyindir. Lucas memutar bola matanya.

"Tapi tangan gue, sih, khususon buat si Dewa."







"Gue baik-baik aja—sangat." Alenza menekankan ketika ia terus ditanya berulang-ulang oleh kawan-kawannya.

"Kok, bisa sampai begini, Za? Terus, di ruang kesiswaan tadi gimana?" tanya Jinan.

"Gimana apanya?"

"Ya lo ngapain aja di sana?" sambar Lucas tak sabaran.

"Duduk aja, sih."

"Maksudnya, lo ditanya apa aja sama Pak Mancung di sana?" Lucas sedikit menaikan intonasinya, sedikit geram geregetan namun bisa menahan.

Pak Mancung. Jika didengar memang aneh, seperti nama sebutan, namun itulah nama aslinya. Pak Mancung adalah guru kesiswaan di sekolah ini. Bertanya-tanya alasan dibalik nama itu, sebab hidungnya mancung? Padahal, kenyataannya...ya, gitu. Kata siswa-siswi, sih, mancung yang tertunda. Pak Mancung juga sempat bercerita, mengapa ibunya memberi nama itu, karena berharap tulang hidungnya lebih terlihat alias mancung. Tapi...ya, sudah nasibnya.

"Tentang beritanya, lah." Alenza berdecak.

"Kenapa, sih, lo enggak izinin kita untuk ikut bareng lo?" Lucas menghentak-hentakkan kakinya, kesal, seperti halnya anak kecil.

"Pengap kalau banyakan," balasnya singkat. "Udahlah, pokoknya udah kelar masalah ini. Gue jawab dengan lancar jaya, karena ini cuma fitnah belaka." Alenza menghela napasnya, "tapi, gue pengin pulang."

"Nana antar sampai depan?" tawar Jinan.

"Gak perlu. Gue bisa sendiri."

👶👶👶


Langkah demi langkah Alenza lewati. Tas ranselnya ia jinjing setengah menyeret dengan malas-malas menuju parkiran motor. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi untuk bel pulang berbunyi, namun Alenza memilih jalan ini.

Ia mengaitkan tasnya pada motor, lalu bersiap melaju dengan motor scoopy hitam kesayangannya itu.

"Ckckck. Belum waktunya masa udah pulang, katanya murid cerdas...ya walaupun tampang berandal." Dewa sudah berdiri di depan gerbang, bersandar, melipat kedua tangannya, mencibir dengan berlagak.

Alenza menghela napas panjang berbarengan dengan kelopak matanya yang menutup sejenak. Muak, rasanya.

"Gue enggak mau bicara panjang lebar, Dewa. Tolong, menyingkir."

"Ups!" Dewa menutup mulutnya, pura-pura kaget. "Lo bener-bener marah, ya, Za?" Sekarang, ekpresinya berganti seperti kekhawatiran.

Sukses sekali kalau Dewa menjadi pemain dalam sebuah drama dengan karakter penuh muslihat. Sudah habis kesabaran Alenza. Ia langsung melajukan motornya ke depan, lebih dekat dengan Dewa yang sempat terkesiap. Sekarang, mereka hanya berjarak tiga jengkal saja.

"Jangan pernah lo ganggu mereka," ucap Alenza datar dan dingin, menatap lekat-lekat objek yang ada di hadapannya.

Dewa menarik senyuman lebar. Tampak senang—sangat. "Lo tahu 'kan power dari gue sekarang kayak gimana?" ujarnya, kali ini ia tersenyum miring. "Selamat menjalankan masa skorsing, Alenza."






.
.
.
.

Hehehe. Votment.










Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang