dua puluh lima

819 95 2
                                    

Pukul 10.15 malam akhirnya Dewa membuka pintu. Dirga terkesiap dan segera menghampiri saudaranya, namun saat melihat wajah Dewa yang pucat pasi, kekhawatiran lelaki itu semakin menjadi.

"Dewa, lo kenapa?" Dirga sedikit menampar kedua pipi Dewa, karena ia seperti kehilangan kesadaran dengan bersandar pada daun pintu.

Dewa tak menjawab dan hanya memukul-mukul dadanya pelan terlihat sangat lemas, bibirnya terbuka ingin mengatakan sesuatu namun seperti tertahan.

Dirga mengedarkan pandangnya lalu mendapatkan sebuah botol dengan beberapa obat yang berserakan di lantai kamar Dewa.

"Sejak kapan lo konsumsi obat, Dewa?" Intonasi Dirga naik, raut wajahnya tampak marah. Ia mengguncang tubuh Dewa supaya sepenuhnya tersadar, tapi Dewa segera mendorong Dirga dengan tubuh yang masih terhuyung.

Dirga masuk ke dalam kamar memeriksa botol itu, apa yang telah dimakan oleh saudara tirinya. "Obat tidur?" katanya. Dirga melirik Dewa, tapi lelaki itu malah menyeringai padanya.

"Kenapa?" ucap Dewa, matanya mengerjap-ngerjap seperti di ambang kesadaran.

"Kenapa?" tukas Dirga mengikuti Dewa. Ia tak percaya jika Dewa akan berkata seperti itu. Jelas mengonsumsi obat akan menjadi ketergantungan dan efek sampingnya bermacam-macam, seperti saat ini yang Dewa alami, bahkan mungkin sampai bisa merenggut nyawa.

"Nasib gue selalu gini!" Dewa memekik dan sempat membuat Dirga tersentak. "Selalu sendiri," imbuhnya, intonasinya menurun.

"Terus, lo anggap gue dan mama apa?"

"Lo enggak pernah sadar, dari dulu sampai sekarang mereka selalu sibuk karena masalah perkerjaan. Di saat berpisah, enggak ada perubahan apapun! Gue dan papa satu atap, tapi kita kayak orang asing."

"Dan lo pikir, mama 24 jam sama gue? Enggak. Mama selalu sibuk. Tapi gue ngerti karena mama ada anak yang harus dibutuhi semua kebutuhan primer dan sekundernya." Dirga membalas dengan menggebu-gebu. "Papa emang udah gaada, tapi kita bisa tinggal bareng sama mama," imbuhnya.

"Lo incaran sekolah, Dewa, lo punya banyak teman di sosial media, cewek-cewek tergila-gila sama lo, dan lo masih bilang lo merasa sendiri?"

Dewa menyeringai lagi. Tertawa samar. "Sosial media, dan itu gak pernah ada," tukasnya penuh penekanan. "Nyatanya sebagian besar yang gue dapat lontaran kebencian yang enggak pernah terpublikasikan." Dewa menjeda, "Gue mengakui bahwa apa yang gue katakan sifatnya adalah absolut, karena ada relasi antara sekolah dengan papa."

"Tapi, gue cuma cari perhatian semata yang gue inginkan justru orang lain yang dapatkan."

"Siapa?"

"Lo."

Dirga mengernyitkan dahinya bingung. Ia pikir Dewa sudah mulai melantur.

"Apa, sih, udah lah Dewa mending lo berbaring, gue bawain makan dan minum." Baru Dirga berniat melangkah pergi ke arah pintu, perkataan Dewa memberhentikan gerakannya.

"Gue cuma main-main tentang syarat itu. Gue pikir, lo pintar, bijak, dan gak berengsek buat deketin dia demi sekadar dapat id Falensya."

Dirga memundurkan langkahnya perlahan. "Maksud lo?"

"Semakin gue tahan, nyatanya gue enggak bisa. Menurut lo selama ini gue selalu sewa pengintai buat dia, perilaku annoying depan dia, itu karena apa?"

"Dia bersikap tak acuh sama lo itu pura-pura. Bukan karena lo masuk dalam circle gue, itu karena Alenza suka sama lo, Dirga! Dari awal." pekik Dewa menyalurkan rasa frustrasinya, "dan gue suka sama dia."


****


Pagi ini Alenza sengaja berangkat sekolah lebih pagi, ketika memasuki kelas pun dirinya——ah, tidak, tangannya sudah sibuk memegang pena, atensinya tak tergoyahkan dari sebuah buku, bibirnya berkomat-kamit antara membaca dan juga mengumpat.

Alenza menggeprak meja. "Aish! Bisa-bisanya gue lupa isi LKS. Jam pertama lagi."

Saat mengerjakan tugasnya Alenza tiba-tiba melihat LKS yang sama, di atasnya juga terdapat sebuah kotak makan yang sengaja diberikan oleh seseorang. Alenza sedikit mengangkat kepalanya dan tampaklah Jinan tengah tersenyum manis.

"Sarapan, sama contekan, sebagai ucapan maaf juga karena kemarin sikap Nana kurang baik," katanya.

"Ihhh Nana, makasih banyak!"

Tanpa pikir panjang Alenza membuka  LKS milik Jinan, matanya secepat kilat bergantian, dari mencocokkan sampai berakhir menyalin jawaban. Karena tak kunjung dimakan, Jinan berinisiatif membuka tutup wadah makanan yang ia bawa.

"Hehe, makasih." Alenza mengambil rotinya memakan dengan lahap dengan dua kali suapan, lalu melanjutkan kegiatannya lagi.

"Emm, Nana kemarin buat Nza kesel, ya?" Jinan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Heem. Enggak bisa ditanya, jadinya agak sebel," jawab Alenza. "Tapi kalau masalah nyebelin banget, sih, masih Lucas juaranya," imbuhnya, dengan tertawa.

"Maaf, ya."

"Santai. Tapi yang bikin Nana kayak gitu apa, sih? Baru kali ini liatnya dan jangan lagi, deh. Muka Nana tuh penuh aura positif, baik, penyayang, lemah lembut."

"Jadi enggak boleh marah, ya?"

"Eh?" Alenza membasahi bibirnya. "Gue enggak melarang Nana marah, cuma...kalo tiba-tiba kayak kemarin, jadinya takut dan ngeselin."

"Setidaknya kabari lah kalo mau marah-marah, biar siap mental kalo Nana marah," tambah Alenza bercanda.

Jinan terkekeh. "Masa orang marah ngasih tahu dulu, kalau dia nya mau marah? Aneh."

"Eh, tapi..," Jinan menggantungkan kalimatnya, padahal Alenza sudah menunggunya dengan menaikkan kedua alis. "Enggak jadi."

"Na, jangan gitu loh, jangan bikin gue penasaran. Mau ngomong apa?"

"Gak jadi. Enggak penting juga."

"Iya enggak apa-apa gue dengerin," desak Alenza, posisi duduknya ia ubah ke samping lurus menghadap Jinan.

"Mau gibah, bukan?" tanyanya. Tentu saja langsung dibalas gelengan kuat dari Jinan. Dan Alenza terkekeh-kekeh.

"Kerjain dulu aja tugasnya."

"Ish. Sisanya pilihan ganda, santai lah. Cepet, apaan."

"Nza pernah kepikiran bahwa berteman dengan laki-laki itu langgeng?" Jinan mulai bertanya, dan Alenza membalasnya dengan anggukan kepala.

"Iya, lah. Komunikasi bisa terus lanjut sampai tua nanti selagi enggak ada masalah dalam lingkup pertemanannya. Tapi kalaupun ada, bisa diselesaikan baik-baik, karena cari teman itu enggak gampang, maksudnya...oke lah manusia di bumi banyak, siapapun bisa jadi teman, tapi yang satu frekuensi alias nyambung sama kita tuh susah," ucap Alenza panjang lebar. "Contohnya kayak kita aja."

"Maksud Nana pertemanan yang enggak melibatkan rasa suka di kedua pihak, atau...satu pihak."

"Huh?" Kini dahi Alenza mengerut. "Hm, ya berhubung posisi gue saat ini berteman sama Nana, Lucas, juga Doris yang pada lelaki semua, and I personally think...biasa aja," katanya, sembari mengedikkan bahu.

"Kalau misalnya salah satu dari kita suka sama Alenza, gimana?"






















.
.
.
.
.

Bagian selanjutnya akan segera datang.

Kaladuta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang