5# Dendam Lama

77 3 0
                                    

Dorr...

Dorr...

Suara tembakan dari halaman depan mansion keluarga Revan membuat semua orang kembali terjaga dari tidurnya. Yang benar saja, pukul dua dini hari dimana kebanyakan orang sedang tertidur dengan pulas, mansion Revan diserang oleh banyak orang.

Fania yang kebetulan belum tidur langsung berlari ke balkon kamarnya, melihat situasi di depan. "Shitt!" umpatnya.

"Sayang, kamu disini aja biar aku yang keluar." Revan menahan tangan Fania yang hendak membuka pintu kamarnya.

"Revan, aku harus keluar." dilepaskannya genggaman tangan Revan.

"Gak!!"

Revan langsung menutup paksa pintu kamarnya yang sebelumnya dibuka Fania, lantas menguncinya. Dipegangnya kedua bahu istrinya, ditatapnya lamat-lamat wajah cantik istrinya.

"Kamu denger, mereka banyak. Kamu disini aja, okay?" 

Fania menggeleng. "Nggak bisa Revan, yang mereka cari itu aku. Jadi harus aku yang nemu-in mereka." jawabnya.

"Tapi mereka banyak, aku gak mau kamu terluka,"

Perempuan itu tersenyum geli. Hey sepertinya Revan lupa siapa istrinya. "Kamu lupa siapa aku? mereka semua gak ada apa-apanya buat aku."

Revan menghela nafas. Memang kemampuan istrinya itu tidak perlu diragukan lagi. Tapi sudah hampir delapan tahun Fania tidak terjun dalam situasi seperti ini secara langsung. 

"Iya aku tahu kamu mampu, tapi aku tetep khawatir. Pliss dengerin aku. Biar aku sama para bodyguard yang turun." 

"Tapi Van--

"Gak sayang, aku gak mau kejadian dulu keulang lagi, cukup sekali." wajah Revan tiba-tiba berubah sendu. Tangannya menggenggam tangan Fania. "Aku mohon..."

Perempuan itu menarik nafasnya dalam dalam, lantas dihembuskan perlahan. "Okey, aku disini. Kamu hati-hati ya."

Revan mengangguk. "Aku turun dulu."

Fania langsung menghampiri meja kerjanya setelah Revan turun kebawah. Dia tidak bisa tinggal diam melihat keluarganya diusik seperti sekarang. Mendengar suara tembakan dari bawah sana membuat bibir Fania tersungging.

"Hufh... udah lama gak ada mainan." kekehnya.

Perempuan itu merenggangkan otot tangannya sebelum jari-jari lentiknya menari diatas keyboard komputernya. "Lo pikir gue diem aja? haha lo salah."

Sebelumnya, Fania memang sudah memprediksi kejadian ini akan terjadi. Jadi dia biasa saja menghadapinya. "Oke sekarang kita lihat gimana nasip kalian kalau berani berurusan dengan gue."

Setelah kurang lebih sepuluh menit Fania mengotak atik komputernya, ia menyunggingkan senyum andalannya.

Tawa iblis Fania muncul setelah sekian lama. Mata Fania bergulir ke-jam dinding diatasnya. Pukul setengah tiga. "Satu.. dua.. ti--

Cklik..

--- 

 Revan melipat kedua tangannya didepan dada. Didepannya ada beberapa orang yang mencoba menerobos masuk keteras rumah yang dihadang anak buahnya.

Revan mengangkat tangannya, menyuruh anak buahnya melepaskan mereka. Kakinya melangkah mendekat. "Mau apa kalian semua?" tanyanya langsung.

Salah satu dari mereka maju menghadap Revan. "mana Fania? dia harus tanggung jawab!"

Dahi Revan mengernyit, "Tanggung jawab apa? Istri gue ngapain emang?"

Laki-laki dihadapan Revan tertawa sarkas, "apa yang istri lo lakuin? haha lo lupa kejadian delapan belas tahun lalu?"

[2] AGATHA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang