8# Olimpiade

51 6 0
                                    

Pemuda itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan perlahan, memasuki halaman sekolah yang begitu luas. Dengan tas yang disampirkan dipunggung-nya, Gathan berjalan dengan wajah datarnya.

Pagi ini Gathan memaksakan diri untuk berangkat sekolah. Awalnya Om Richart dan Dendra menentang dengan tegas, tapi setelah mengalami perdebatan panjang antara ketiganya, Gathan diperbolehkan untuk sekolah.

Gathan sudah sepenuhnya sadar. Dan kembali beraktifitas normal seperti biasanya.

Gathan membelokkan langkah kakinya menuju kantin. Kedua tangan pemuda itu dimasukkan kedalam saku. Kondisi kantin masih sepi. Hanya ada Gathan seorang diri. Gathan mendudukkan dirinya dibangku yang ada disudut.

Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Banyak sekali notifikasi yang muncul setelah ia menyalakan ponselnya. Terutama mamanya.

Ahh-- semalam pemuda itu tidak jadi pulang kerumahnya, sebaliknya. Gathan memutar arahnya ke rumah Dendra. 

Bughh..

Pemuda itu langsung tersungkur saat tiba-tiba wajahnya dipukul. Gathan mengusap sudut bibirnya yang berdarah, menatap kakaknya bingung.

"b-bang..."

Justin melipat kedua tangannya didepan dada. Menatap Gathan tanpa rasa bersalah setelah membuat adiknya tersungkur. Pemuda yang lebih tua itu mendekat.

"Bagus ya.. dua hari gak pulang kerumah. Dihubungi juga gak bisa." Justin mengamati Gathan dari atas sampai bawah. "lo gak tahu segimana cemasnya mama nungguin lo pulang semalem?"

Gathan  terdiam tanpa bisa berkata-kata. Bahkan ia sampai lupa memberi kabar kepada mamanya. Kepala pemuda itu tertunduk.

"setidaknya kalau lo gak pulang bilang ke mama, biar dia gak khawatir." Justin menyentuh luka diwajah adiknya pelan. "Lo tahu kan, seberapa penting komunikasi diantara keluarga kita. Jangan sampai kejadian dulu terulang Gathan."

"Maaf..." 

Justin menghela nafasnya pelan. Ditariknya pelan lengan adik-nya untuk duduk. "lo tunggu sini."

Gathan hanya diam memandangi punggung kakaknya yang sedang berbincang dengan mang Dadang, penjual nasi goreng dikantin ini. Tak lama, pemuda itu kembali dengan satu kotak P3K ditangannya.

"Than, lo punya gue buat cerita semuanya. Gak perlu lo sembunyi seperti ini." sembari berbicara, tangan Justin bergerak mengobati luka diwajah adiknya.

Gathan mendongak, menatap mata kakaknya. "kenapa abang disini? Gak kuliah?" pemuda itu bertanya.

Justin menggeleng. "nggak, lo lebih penting dari apapun."

Seberapa usil dan jahil-nya seorang Justin Nuel Jhason ia akan tetap bersikap lembut dengan adik kecilnya. Justin menyayangi Gathan, begitu pula Gathan yang menyayangi Justin.

Gathan tersenyum tipis mendengar jawaban kakaknya. Dari kecil kakaknya tidak pernah berubah memperlakukannya layaknya anak kecil. "Bang, gue udah besar, gak perlu lo se khawatir itu tentang gue." ucapnya.

Justin menyentil pelan kening Gathan. "mau lo sebesar apapun, lo tetep adik kecil gue." pemuda itu mendegus tidak percaya.

Lagi-lagi Gathan hanya bisa tersenyum, mungkin bagi Justin mengungkapkan rasa sayang kepada orang lain itu mudah. Tapi tidak bagi Gathan.

"sekarang gue tanya, ini luka apa?" wajah Justin tiba-tiba berubah menjadi serius.

Gathan menyenyuh luka dibelakang lehernya yang sudah mengering. "alergi," jawabnya.

Mata Justin memincing tidak percaya, "lo masih mau bohong juga sama gue? Gue tahu semuanya Gathan." Justin menunduk, menyentuh pergelangan kaki Gathan yang terbungkus sepatu.

[2] AGATHA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang