18# Dibawah Sinar Bulan

46 6 0
                                    


Plakk...

Perempuan dengan gaya modis itu menatap datar objek yang baru saja ditamparnya. Melipat tangannya didepan dada, lantas ia melipat kakinya, berjongkok.

Dicengkram-nya dagu itu dengan kasar, "setelah sepuluh tahun, lo muncul huh?" ia bersungkut, memancarkan amarah.

Bibir tipis yang menguluarkan sedikit darah itu terbuka, "gue cuma mau ambil hak gue," jawabnya, tertekeh pelan.

"cuih! Hak apa yang lo punya dari anak gue hah?!"

Yang dibawah tertawa keras mendegar penuturan tersebut, "haha... Lo bodoh Fania!" ia tersenyum remeh. "Dia milik gue dari awal."

Tubuh perempuan itu mundur sedikit menjauh. Mengepalkan tangannya. Apa barusan? dia menyebut Fania bodoh?

Bughh...


Tubuh kurus itu terpental setelah kaki Fania menendangnya. Perempuan itu meringis pelan saat tubuhnya membentur dinding.

"Lo bodoh Fania, selama ini apa lo gak nyadar?"

"Omong kosong apa yang kau ucapkan?!" 

"Kenapa? Lo takut kalau gue ambil dia dari hidup lo?" ia masih bisa tertawa mengejek. "Ahh salah, dari awal lo sudah kehilangan anak lo haha.."

Muak dengan segala omong kosong yang didengarnya. Fania mengambil senapan dibalik dress hitam yang ia kenakan. Smirk muncul disudut bibir Fania.

Tangannya menarik pelatuk perlahan. 

"See you bicth!"


Dorr.. Dorr..


***

Suara langkah kaki dijalanan berlumpur kian terdengar. Perpaduan suara langkah kaki dengan hembusan angin sore sangat kontras dengan suasana kala itu.

Tubuh jangkung itu perlahan mendekat. Berdiri menjulang dengan satu bucket bunga lily kuning  ditangannya.

Lantas, ia berjongkok disamping gundukan yang ada didepannya. Perlahan, tangannya meletakkan bucket itu disamping  batu nisan.

Tertulis nama seseorang yang paling ia sayang. Bersemayam dibalik gundukan tanah ini. Sosok perempuan paling  berharga, setelah ibu-nya. Sheira Divana.

Bibir itu menyunggingkan senyuman tulus. Sorot teduh dari kedua bola matanya mengambarkan sebuah kerinduan yang terdalam.

Ibu jari-nya bergerak mengusap lembut batu nisan yang sudah mulai usang. 


"Hai.. kamu apa kabar? maaf aku baru bisa datang." 

Kepalanya tertunduk saat hembusan angin menerpa wajah kokohnya. Merasakan sesuatu, seolah ada tangan yang sedang  membelai-nya.

"h-harusnya kamu ada disini, disamping aku." Ia menatap batu nisan didepannya dengan sendu. "harusnya kita bisa hidup sama-sama sampai nanti."

"t-tapi sepertinya tuhan lebih sayang kamu cantik," bibirnya bergetar.

"maaf juga, karena aku kamu jadi seperti ini." Kepalanya tertunduk dalam. Dadanya sesak, seolah ada batu besar yang tengah menindihnya. "aku gak pantes dapetin ini dari kamu. Aku rela, hidup dengan rasa sakit dibanding hidup tanpa kamu."

Tangan besarnya ikut bergetar saat membersihkan rumput liar. "Kamu pergi dulu ninggalin aku sendiri." ia mengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai petang. "Andai kamu disini, pasti aku bahagia menjalani hidup."

[2] AGATHA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang