💘 22

6.7K 803 137
                                    

Tanpa terasa kuliah Mehreen selesai juga dengan gelar cumlaude. Ia habiskan tiga minggu untuk liburan keliling Inggris dan beberapa negara Eropa ala backpacker untuk menghemat biaya dan mengasah jiwa petualangannya lagi. Uang sakunya sendiri hasil kerja paro waktu selama di Inggris.

Setelah itu langsung pulang ke Indonesia. Dua minggu setelah kepulangannya, Damai langsung mengundang keluarga besarnya dan keluarga Arjuna untuk menentukan tanggal pernikahan. Setelah disepakati, mereka akan menikah lima bulan kemudian.

"Papa Rashad pengen bikin resepsi juga untuk kita di Malang. Kamu yakin di rumahmu nggak usah? Jadi satu aja di Kartasura?" tanya Mehreen pada sambungan telepon.

"Yakin, Mbak. Sebenarnya saya lebih suka sederhana tapi tamu Abi Damai banyak, juga posisi Abi yang ... " Arjuna tak melanjutkan ucapannya.

Mehreen paham kalau Arjuna ingin membiayai biaya pernikahan mereka sendiri tapi umminya juga berasal dari keluarga besar sehingga sesederhana apapun pernikahan mereka tetap saja jumlah yang diundang banyak.

"Mas Juna uhm bisa nggak sih kita ubah panggilan kita?" tanya Mehreen setelah terdiam agak lama.

"Panggilan?" tanya Juna lamat-lamat.

"Iya. Masa mau nikah gini kamu gayanya masih kayak ajudan Abi?" kata Mehreen setengah kesal, setengah merajuk.

"Eh ... " tampak jeda cukup lama. Mungkin Arjuna tengah berpikir di seberang. "Saya harus panggil apa?"

Dari nada suara Arjuna, Mehreen bisa menebak kalau calon suaminya itu tengah tersipu.

"Mas Juna ih!" omel Mehreen pura-pura merajuk padahal ia ingin tertawa.

"Apa? Harus panggil apa?"

"Nama aja atau adek," usul Mehreen.

"Eh, jangan!" sahut Arjuna cepat.

"Kenapa?" tanya Mehreen datar.

"Itu ... ehm itu ... "

"Apa sih? Nggak mau tau pokoknya. Aku calon istri kamu. Kamu bukan ajudan atau caraka Abi!" omel Mehreen.

"Iya deh ... "

Senyum Mehreen terkembang lebar sekali. "Nah, gitu."

Tetapi membuat Arjuna tiba-tiba mengubah cara panggilan memang tidak mudah. Butuh waktu untuk terbiasa.

Seminggu kemudian Mehreen dan Arjuna mendapat kabar bahwa Rashad, sepupu Damai tetap ingin menggelar tasyakuran mereka di Malang. Mantu terakhir katanya karena bagaimanapun juga Arjuna sudah dianggap anak sendiri.

"Nanti menikahnya pakai sangkur pora?" tanya Damai.

"Nggak usah. Biasa aja. Aku sudah bahas ini sama Mas Juna. Aku menikah bukan demi upacara militer tapi karena Allah," jawab Mehreen.

Damai mengangguk. "Baiklah. Undangannya sudah beres?"

Mehreen mengangguk dan mengatakan bahwa seluruh keluarga Arjuna akan diundang ke Kartasura, untuk rekan-rekannya hanya beberapa saja yang ikut ke Kartasura sedangkan Komandannya akan diundang ke tasyakuran di rumah Rashad termasuk sebagian besar rekan-rekan yang tidak diundang ke Kartasura.

"Kamu jangan pecicilan. Sebentar lagi jadi istri," nasehat Damai.

"Siap, Abi!" sahut Mehreen seraya memberi hormat.

"Hormati Juna sebagai suami, imam kamu. Jangan biarkan egomu terutama karena usia dan jenjang pendidikan yang sudah kamu raih membuatmu sombong hingga merendahkan Juna," sambung Damai.

"Siap, Abi!"

"Karena terkadang hal semacam itu suatu saat bisa keluar jika sedang emosi. Bagaimana pun pengalaman hidup orang yang lebih tua itu lebih banyak tapi bukan berarti kamu lebih segalanya dari pasanganmu yang lebih muda. Karena kedewasaan nggak bisa diukur dari usia," lanjut Damai sambil menatap putri bungsunya lebih lekat. "Kenapa, Nduk?"

Jodoh ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang