Akhirnya setelah sekian lama, terdapat titik terang dan kabar gembira. Sahil selamat bahkan sepertinya dengan bonus tambahan. Membawa pulang calon istri.
Hanya saja, Sahil dan kawan-kawan menolak ikut dievakuasi. Mereka memilih bertahan dan bergabung dengan rekan-rekan yang lain.
Frannie tak henti-hentinya bersyukur.
"Pa, anggota Papa tak ada yang diperintahkan untuk ke sana?" tanya Frannie.
Mereka tengah makan malam bersama sebagai bentuk syukur atas selamatnya Sahil. Tak lupa berbagi dengan anak-anak di panti asuhan dan Aisha sekeluarga masih bertahan di panti asuhan.
Frannie melakukannya karena Sahil bukan sedang tugas negara saat bencana itu terjadi.
"Sepertinya tidak. Tapi siapa yang tahu?" jawab Rashad.
"Kampus Mas Rahil katanya menggalang dana dan bantuan lain untuk disalurkan ke sana," celetuk Arjuna.
"Ya, betul." Rahil mengangguk. "Aku ingin ke sana tapi Mia sudah hamil besar."
"Mas Rahil pergi juga nggak apa." Mia menggeleng sambil tersenyum.
"Sudah ada Dek Sahil di sana," kata Rahil.
"Papa dengar Mehreen dan teman-temannya mau ke sana," ujar Rashad.
Mehreen? Mehreen siapa? Berapa banyak nama Mehreen di dunia? Di Indonesia? Batin Arjuna kaget.
Di permukaan, ia tampak tenang tapi tidak hatinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Ia sendiri bingung dengan reaksi hatinya kala mendengar nama Mehreen disebut.
"Seperti biasa ya?" sahut Rahil.
Frannie menghela napas dalam. "Minimal ada yang bisa bertemu Adek. Semoga datang di tempat Adek berada."
"Aamiin!" jawab mereka serempak.
Arjuna ingin sekali bertanya tapi lidahnya kelu. Mulutnya seperti diberi lem super sehingga enggan terbuka kecuali untuk makan saja. Dan ia merasa kecewa saat Rashad sekeluarga tidak bercerita lebih jauh mengenai sosok bernama Mehreen itu. Ia penasaran tapi segan bertanya.
Apakah Mehreen yang sama dengan yang ditemuinya di Papua?
Hingga makan malam usai, mereka hanya bicara seputar gempa tersebut.
Akhirnya Arjuna pamit setelah membantu membereskan semuanya tanpa berkata apapun lagi. Ia kembali ke barak dengan rasa penasaran.
"Astagfirullah!" Arjuna mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kenapa, Bang?" tanya Dirga yang menemaninya duduk sambil makan lemper yang dibawanya dari rumah Rashad tadi.
Arjuna menggeleng. "Nggak."
"Tumben galau," ejek Dirga. "Nggak lagi menyesal karena Mbak Ai punya anak. Kembar. Lucu. Matanya ijo lagi."
"Kamu habis makan cabe berapa?" tanya Arjuna kalem.
"Lemper mana ada cabe?" Dirga nyengir walau tahu arah bicara Arjuna.
"Kalau gitu otak kamu perlu dikasih siraman rohani. Baca Al-qur'an sana!" perintah Arjuna.
"Bercanda. Sudah ikhlas dan move on kan ya?"
"Dari awal juga ikhlas."
"Bang, kenapa nggak sama Mbak Savita atau Mbak Bulan saja sih?" Dirga beranjak sebentar untuk membuang daun pembungkus ke tempat sampah.
Arjuna menghela napas dalam. "Savita sudah seperti saudara. Rasanya kayak inses tahu! Kalau Bulan ... dari awal cuma lihat tampangku. Nggak pernah tertarik lebih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...