Arjuna langsung izin pulang tatkala Mehreen mengatakan ia mengalami pendarahan. Segera keduanya ke rumah sakit dan bak disambar petir setelah dilakukan observasi lalu dokter memberitahu bahwa janin dalam kandungan Mehreen sudah tidak ada, hanya tersisa kantung kehamilannya saja. Untuk itu harus dilakukan kuretase dua hari kemudian.
Mehreen tak bisa menahan air matanya seketika. Bayi yang mereka harapkan tidak bisa bertahan.
"Mas Juna tahu kan aku ini kuat, aku relawan terlatih. Segala medan sudah pernah aku kunjungi. Abi sendiri yang melatih. Tapi kenapa? Kenapa membawa bayiku sendiri aku nggak bisa?" racau Mehreen dalam pelukan Arjuna.
"Istigfar, Sayang. Istigfar." Tentu hati Arjuna sendiri pun remuk redam tapi ia harus tegar demi istrinya. Jika ia menangis, Mehreen akan semakin terpuruk karena sesungguhnya istrinya hanya galak di luar tapi hatinya lembut.
"Maaf, Mas, maaf. Maaf aku nggak bisa jaga dia. Maaf," ucap Mehreen pilu.
Arjuna tanpa sengaja mengeratkan pelukannya. Hatinya semakin tersayat mendengarnya. "Bukan salah, Adek. Dia ... Dia memang hanya datang sebentar untuk menyapa kita. Dia sedang menyiapkan rumah kita di surga. Ya?"
Tentu bagi Mehreen yang tengah terpuruk, segala kalimat penghiburan tak akan merasuk di telinga bahkan hatinya. Akhirnya Arjuna membiarkan istrinya menangis saja untuk melegakan hatinya.
Ketika Mehreen jatuh tertidur akibat kelelahan menangis, perlahan Arjuna meletakkan tubuh istrinya di ranjang kembali. Untuk beberapa lama ia hanya duduk mendampingi sembari terus menggenggam tangan istrinya dan sesekali mengusap kepala yang tertutup hijab itu.
Arjuna bahkan belum mengabari keluarganya baik orang tua Mehreen maupun Frannie dan Rashad.
Sekuat tenaga Arjuna menahan diri agar tidak menangis, setidaknya tidak di depan istrinya yang pasti akan semakin sedih. Dengan intens diperhatikannya wajah pucat sang istri dan ingatannya menerawang pada pertemuan pertama mereka di Papua.
Mehreen yang tidak suka dipanggil Meh karena terdengar seperti meremehkannya, Mehreen yang galak, Mehreen yang bicara nyaris tanpa jeda, Mehreen yang kuat dan Mehreen yang cerdas.
Siapa kira istrinya ternyata keponakan Danyonnya sendiri? Entah kebaikan apa yang diperbuatnya hingga bisa masuk menjadi keluarga Danyonnya. Bahkan dulu saat hendak mengkhitbah Aisha saja sebetulnya ia masih merasa seperti pungguk merindukan bulan. Baginya sepupu Mehreen itu terlalu sempurna, ternyata Allah masih mempertemukannya dengan seorang bidadari yang mampu menggetarkan hatinya.
"Aku percaya kita pasti bisa melewati ini semua. Allah Maha Baik," bisik Arjuna sambil mencium kening Mehreen. "Kamu wanita luar biasa."
Setelah beberapa saat, Arjuna meninggalkan kamar rawat inap untuk menghubungi komandannya baru setelah itu keluarganya. Tentu orang tua Mehreen yang pertama dihubunginya. Beruntung Khayrah sedang di rumah tak ada kegiatan.
"Umi usahakan ke sana secepatnya ya, Nak? Umi juga tunggu Abi dulu," kata Khayrah disela isak tangisnya meratapi nasib si bungsu.
"Iya, Umi. Adek baru tidur."
"Titip Mehreen ya, Umi tahu kamu pasti menjaganya dengan baik cuma Umi ... "
"Saya paham kok, Umi."
Usai Arjuna pamit kepada mertuanya, ia segera menghubungi Rashad dan Frannie. Hanya saja keduanya tengah di Sidoarjo, karenanya tak bisa langsung ke rumah sakit. Terakhir yang dihubungi adalah Sadewa sebab satu batalyon. Lelaki itu pasti mengamuk kalau sampai tahu dari orang lain.
💘💘💘
Pertama kalinya Arjuna menangis tersedu-sedu sembari menunggu tindakan selesai. Dulu saat kehilangan orang tuanya, ia masih bisa tegar dan menguatkan diri meski hidupnya tidaklah mudah.
"Ikhlaskan, Nak." Terdengar suara Rashad sambil menarik tubuh tegap Arjuna dan memeluknya.
"Mbak Khayrah sudah pesan tiket ke sini," beritahu Frannie. Istri sepupunya itu ternyata tak bisa secepatnya untuk terbang menemui putri bungsunya karena ada kegiatan penting. "Menangis saja sepuasmu sekarang, tapi nanti kamu harus tegar untuk Mbak Mehreen, Mas." Meskipun sudah dianggap sebagai anak bungsunya tetapi karena secara hukum merupakan menantu kakak sepupunya, maka sesuai tradisi ia memanggil Mas pada Arjuna sebagai pembiasaan posisi lelaki muda itu dalam keluarga. "Keluarkan semua, Nak. Mama sama Papa di sini."
Frannie seorang ibu dan nenek, apalagi dasarnya ia cengeng dan mudah tersentuh tetapi pengalaman mendampingi suaminya membuatnya belajar tegar. Sampai beberapa meter dari posisi Arjuna, ia masih menangis sesenggukan tetapi begitu di depan putranya, ia menghapusnya dan berdiri tegar karena ia tahu bahwa bungsunya itu membutuhkan dukungannya.
"Kamu tahu kan, Allah mengambil calon bayi kalian bukan karena kalian belum siap tapi karena Allah sangat sayang kalian semua," tambah Frannie sambil berusaha sekuat mungkin untuk menahan air matanya. Ia mengusap bahu yang masih naik turun di pelukan suaminya itu. Bahu kekar yang kini luruh oleh kesedihan.
Tak ada respon sama sekali dari Arjuna dan Rashad juga Frannie memakluminya.
Setelah menunggu beberapa lama, Mehreen akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Bergantian Rashad dan Frannie melihat Mehreen yang masih tertidur itu sejenak sebelum Arjuna masuk. Kedua orang tua itu mengatakan akan menunggu di luar.
Arjuna terus menggenggam tangan istrinya seraya melantunkan doa dan istighfar.
"Mas?" panggil Mehreen lirih. Suaranya serak.
Arjuna menatap mata istrinya lembut. "Ya, Sayang? Mau minum?"
Mehreen menggeleng. "Bayinya ... " Mengatakan itu, air matanya seketika meleleh.
"Hey, it's okey. Kamu Umi yang kuat. Dia bayi yang kuat. Kita sudah melakukan yang terbaik. It's okay."
"Maaf ... "
"No, no, no. Nggak ada yang perlu dimaafkan. Bukan salahmu. Bayi kita hanya sedang menanti kita di surga-Nya. Dia datang untuk memberi tahu bahwa ada tempat di surga untuk kita, jadi dia menunggu kita di sana." Arjuna yang tadinya duduk di kursi pun beranjak dan duduk di ranjang, menarik lembut tubuh istrinya dan memeluknya.
Seberapa keras dan kuat Arjuna berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap tegar demi istrinya, mendengar tangisan pilu istrinya, hatinya pun kembali meluruh. Membuatnya tak kuasa ikut menangis juga meski tak seperti sebelumnya.
Setelah puas menangis, Mehreen kembali tertidur sambil memegang erat tangan Arjuna seolah takut kehilangan juga. Lalu dengan satu tangan, Arjuna mengusap lembut kepala istrinya sembari membacakan doa dan ayat-ayat Allah agar tenang.
Tak ada yang salah sama sekali dengan keseharian mereka. Semua baik-baik saja selama ini. Semua semata takdir Allah.
💐💐💐
Assalamu'alaikum semua, selamat malam yuhuuu
Ada orang?
Setengah jam menuju jam 00. Aku mau mengucapkan hari jadi korps Mas Abhi nih.
Dirgahayu Korpaskhas ke 74
17 Oktober 1947 - 17 Oktober 2021
Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana
"Kerjakanlah tugasmu dengan penuh tanggung jawab, tanpa menghitung untung rugi, tanpa tanya apa nanti akibatnya."Daaan yok, kepoin cerita duetku ini. Cuma ada di lapak elaa_rin jangan sampai bilang ketinggalan ya nanti 😎
Sidoarjo 17-10-2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...