Akhirnya Mehreen dipastikan hamil dan diminta untuk bedrest total selama trimester pertama. Di satu sisi, ia gembira tapi di sisi lain ia sedih karena ternyata tubuhnya tidak sekuat itu. Istri sepupunya, Mia, waktu hamil Bianca saja tidak ada masalah padahal fisiknya lemah. Ia yang merupakan relawan terlatih bahkan menjelajah medan berat pun sanggup, ternyata ...
"Jangan menyalahkan Allah. Karena Allah itu Maha Adil. Apa yang menurutmu nggak baik tapi menurut-Nya baik untukmu. Coba pikir, Adek itu orangnya nggak bisa diam. Sekarang, Allah cuma ingin kamu istirahat sejenak. Membantu itu itu bisa dengan banyak cara kan? Istirahat sejenak selagi bisa."
Lalu Mehreen teringat perkataan Abinya ketika diberitahu bahwa ia kembali hamil. Hanya saja Mehreen rasanya tak sanggup jika harus senam jari saja sampai beberapa waktu ke depan. Ia kasihan pada Arjuna yang harus mengurus semua sendiri padahal lelaki itu juga capek.
Seperti beberapa malam terakhir karena ada latihan entah apa Mehreen tak ingat. Makan pun terpaksa beli. Satu hal yang patut ia syukuri adalah tidak merasa mengidam yang aneh-aneh hingga membuat repot suaminya.
"Assalamu'alaikum, aku pulang," ucap Arjuna yang baru pulang dari masjid untuk salat magrib tapi pulangnya sekalian beli makanan.
"Wa'alaikumussalam," balas Mehreen.
Setelah salam, cukup lama baru manusianya muncul dengan membawa dua piring berisi nasi disiram kuah rawon. Mehreen pun perlahan duduk dan menerima salah satu piring tersebut. Arjuna sendiri meletakkan satu piring lain di meja rias untuk ganti baju dulu sebelum makan. Barulah sesudahnya ia duduk di pinggir tempat tidur dan makan bersama.
"Mas, Mas, Mas ... " panggil Mehreen sambil menatap suaminya.
Arjuna mendongak. "Iya?"
"Mas Juna ... Mas, Mas Juna ... "
Jika sudah begitu, artinya antara Mehreen punya mau atau hanya usil. Arjuna menunggu dengan sabar.
"Aku bosan. Area pandangku cuma kamar sama kamar mandi," keluh Mehreen.
"Ya sudah, kalau gitu lihat aku saja," sahut Arjuna kalem sembari menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum lebar. "Kan katanya ganteng. Nggak dosa juga."
Kedua mata Mehreen menyipit seketika. "Sejak kapan Sertu Arjuna Ramadan jadi narsis?"
"Sejak jadi suaminya Mbak Mehreen Shehzadi."
Tangan Mehreen langsung terulur untuk mencubit pinggang suaminya yang tidak menyisakan lemak sedikit pun itu. Karena gagal, akhirnya ia mencubit pipi suaminya.
"Adududuh ... sakit dong, Sayang." Karena memang betulan sakit dan panas. Baru kali ini ia merasakan cubitan maut Mehreen.
"Kamu nyebelin!" dengkus Mehreen kesal.
Arjuna hanya balas tersenyum yang membuat sang istri mengerucutkan bibirnya.
"Mas, kita beli makan terus nggak apa?" tanya Mehreen hati-hati.
Arjuna yang tengah menyuap sendok terakhirnya mendongak, lalu meletakkan piring kosongnya di atas meja rias. "Memang kenapa?" tanyanya setelah seluruh nasi tertelan sempurna dan ia juga sudah minum.
"Uang belanja cukup?" tanya Mehreen tampak sedikit khawatir.
Arjuna tersenyum menenangkan. "In syaa Allah. Bismillah."
"Aku masak aja ya? Kamu kan sibuk belakangan ini," usul Mehreen.
Lelaki itu mengambil alih piring istrinya dan ganti menyuapi, sebab jika dibiarkan sang istri hanya akan bicara tanpa makan. "Masih bisa diatasi kok. Atau menunya mau ganti? In syaa Allah cukup kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...