Mehreen pun akhirnya diizinkan pulang oleh dokter. Raut kesedihan masih tak bisa hilang dari wajahnya meski ia sudah berusaha tegar dan ikhlas.
Ketika masih banyak orang datang untuk membesuknya, Mehreen masih bisa tersenyum walau sangat tipis. Namun begitu berdua saja dengan Arjuna atau malah sendirian, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
"Sayang." Arjuna berbisik sambil memeluk istrinya yang duduk bersandar di tempat tidur. Orang tua mereka baru saja pulang. "Ikhlas ya? Anak adalah titipan Allah, jadi Allah mengajaknya pulang lagi ke surganya."
"Aku cuma merasa bersalah nggak bisa menjaganya, padahal aku sudah hati-hati, menjaga pola makan," sahut Mehreen lirih.
"Istigfar, Sayang, istigfar," pinta Arjuna lembut yang langsung diikuti oleh Mehreen. "Istirahat ya? Aku mau nyuci dulu. Kalau butuh apa-apa, panggil saja."
"Temani aku sampai tidur," pinta Mehreen yang masih belum siap ditinggal sendirian padahal masih di sekitaran rumah.
"Oke." Arjuna mengangguk. Ia pun membantu istrinya untuk berbaring dan menemani tidur.
Setelah dirasa Mehreen sudah nyenyak, perlahan Arjuna meninggalkannya untuk segera mencuci baju-baju kotor mereka yang menumpuk. Ia menggunakan mesin cuci juga sekaligus manual alias tangan secara bersamaan agar semua cepat selesai. Terbiasa melakukan sendiri sampai tak terpikirkan untuk mencucikannya di laundry saja.
Di satu sisi, Arjuna juga ingin menyibukkan diri agar rasa kehilangan itu tersamarkan. Ia merasakan ada yang kosong padahal malaikat kecilnya lahir saja belum. Tapi ia yakin bisa melewati semuanya bersama sang istri.
Jika ditanya apakah ia merasa lelah? Sejujurnya lahir batin ia pun lelah dan ingin sekali istirahat sejenak. Bagaimana pun ia juga hanyalah manusia biasa bukan superhero. Hanya saja jika saat ini ia terpuruk, maka istrinya akan lebih terpuruk.
Setelah cuciannya selesai dan terjemur rapi di mana kali ini ia sampai harus membeli hanger baju tambahan, ia membersihkan seluruh rumah. Dan semua pekerjaan itu selesai tepat saat zuhur.
Arjuna segera mandi lalu berganti baju dan jemaah ke masjid. Di sana ia mendapat banyak ucapan belasungkawa dan simpati oleh rekan-rekannya yang mendengar tentang apa yang terjadi.
Saat paling menenangkan bagi Arjuna adalah ketika bisa sujud menghadap Rabb-nya, menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya.
Usai salat, segera Arjuna segera pulang meski ia yakin istrinya masih terlelap. Dan benar saja, begitu memasuki rumah dan kamarnya ia lihat sang istri masih dibuai alam mimpi.
"Sudah Dzuhur loh ini, Sayang," bisik Arjuna lembut melihat Mehreen yang masih enggan membuka mata. "Nanti Adek sholat, aku keluar sebentar ya untuk beli makan siang kita."
Butuh lima menit kemudian barulah Mehreen betul-betul membuka kedua matanya dan perlahan beranjak dari tempat tidur. Arjuna mengikuti istrinya mulai dari keluar kamar hingga kembali ke kamar lagi untuk beribadah. Hatinya sakit melihat sang istri yang biasanya ceria bahkan cenderung cerewet menjadi pendiam dan terpuruk begitu.
Lalu ia pun meninggalkan rumah untuk segera membeli makan siang mungkin sekalian untuk makan malam sehingga nanti tidak perlu keluar lagi. Hari ini saja ia ingin kepraktisan.
💘💘💘
Arjuna dengan rawon yang lengkap berikut empal dan telur asin. Mehreen sendiri sudah selesai salat dan kembali berbaring.
"Dek, makan yuk?" ajak Arjuna sembari mengintip dari pintu.
Mehreen mengangguk dan perlahan turun dari tempat tidur lalu menyusul ke meja makan. Di sana suaminya sudah menyiapkan semuanya. Ia tinggal makan.
"Maaf ya, Mas Juna jadi urus semua sendiri," ucap Mehreen sembari mengusap tangan suaminya. Ia bersyukur punya suami seperti lelaki itu.
Bukan Mehreen tak tahu bahwa suaminya juga sangat sedih atas kepergian calon buah hati mereka. Ia tahu bahwa lelaki itu sangat menjaga perasaannya. Ia tahu karena mata bengkak usai menangis, kurangnya istirahat sangat tampak di wajah suaminya itu. Hanya saja jiwanya yang tengah lelah memilih untuk bungkam. Ia masih butuh bersandar pada suaminya.
Arjuna ganti menggenggam tangan istrinya. "Rumah tangga itu dibangun dari dua hati, dua kepala, dua raga dan dua jiwa. Jika satu nggak bisa, sudah kewajiban yang satunya untuk membantu. Bertepuk nggak bisa sebelah tangan dan jalan satu kaki itu susah kan? Perempuan itu tulang rusuk kan, karena tulang punggungnya itu lelaki."
Mehreen terenyuh dan terharu dengan ucapan suaminya. Kontan saja ia memeluk lelaki bertubuh tegap di sampingnya itu. "Nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan?"
Kedewasaan Arjuna mampu meluluhkan keegoisan Mehreen. Suaminya boleh lebih muda usianya tetapi sejauh dan selama ini justru lelaki itulah yang selalu lebih dewasa.
"Makasih," ucap Mehreen lirih lalu melepaskan pelukannya.
"Yuk, makan," ajak lelaki itu.
Mehreen mengangguk.
"Makan yang banyak. Rawonnya enak," kata Arjuna lagi.
"Ya." Tentu enak karena memang rawon yang dibeli di langganan keluarga besar Mehreen.
Sambil makan, sesekali Mehreen mencuri pandang ke arah suaminya. Ia menatap profil samping lelaki yang lebih muda dan luar biasa tampan itu. Sempurna kalau kata banyak orang. Jodoh yang jauh-jauh ia temui di tanah Papua padahal sesungguhnya sangat dekat di mata.
"Lihat saja nggak bayar kok," cetus Arjuna tiba-tiba yang spontan mendapat pukulan di lengan atasnya oleh sang istri. Ia menoleh dan tersenyum. "Makan, Dek. Kalau meleng keselek nanti. Mau aku suapi?"
Tanpa berpikir dua kali Mehreen mengangguk yang membuat senyuman Arjuna semakin lebar. Keduanya pun makan tanpa bicara lagi. Tentu dengan Mehreen disuapi.
"Biar aku yang cuci piringnya," kata Mehreen mencegah suaminya yang hendak mengangkat peralatan makan yang kotor ke tempat cuci piring.
Spontan Arjuna mencium puncak kepala istrinya. "Adek istirahat dulu ya? Kalau betul-betul sudah baikan, boleh bersih-bersih lagi."
"Tapi kamu capek, Mas," tukas Mehreen. Wajahnya kembali sedih.
"Habis ini aku menyusul tidur. Adek ke kamar dulu ya?" kata Arjuna sabar.
"Aku capek baringan terus," protes Mehreen.
"Ya kalau gitu nanti aku yang tidur, Adek temenin aja." Setelah bicara begitu, Arjuna mengangkat peralatan makan yang kotor dan segera membawanya ke belakang.
Mehreen pun terpaksa kembali ke kamar. Dan tak lama kemudian suaminya menyusul.
"Ayo tidur," ajak Arjuna yang sudah berbaring.
"Mas Juna aja yang bobok. Sini aku pukpuk," sahut Mehreen yang langsung pukpuk kepala suaminya.
Tindakan istrinya itu membuat Arjuna tak bisa menahan senyumnya. Dengan sedikit bertingkah absurd, setidaknya ia melihat sang istri sudah sedikit lebih baik. Dan karena memang sedang lelah bukan karena pukpuk istrinya yang jelas tak akan mempan, tak perlu waktu lama ia sudah jatuh ke alam mimpi.
"Dors bien, Mon mari. Merci beaucoup pour tous. Tu es le meilleur homme que j'ai après Abi, (tidur yang nyenyak, suamiku. Dan terima kasih untuk semua. Kamu lelaki terbaik yang aku punya setelah Abi)" bisik Mehreen yang menghentikan pukpuknya lalu mencium kening suaminya.
Lalu Mehreen beringsut mendekati suaminya dan memeluk perut rata lelaki itu sebab ia tak tahan dengan keheningan yang mengingatkannya akan kepergian buah hati mereka lagi. Ia butuh pegangan.
"Innallaha ma'ana," ucap Mehreen dalam hati.
🌹🌹🌹
Assalamu'alaikum semua, apa kabar?
Beberapa hari ini kepala sakit datang dan pergi. Kemarin ngetik ini udah jadi separo eh ternyata ada yang salah. Hapus lagi deh.Maaf kalau part ini kayak kurang syahdu 🙈
Sidoarjo, 07-11-2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...