Waktu berlalu begitu cepat. Begitu sadar, ternyata sudah waktunya Mehreen melahirkan.
Syaluna Mehrunisa. Seorang anak perempuan yang berharga cantik dan berkharisma lahir pada dini hari dengan berat cukup dan melalui persalinan normal.
Bersyukur Rahil memaksa Arjuna membawa mobil milik Mia, istrinya, untuk mobilitas jika sewaktu-waktu Mehreen melahirkan. Orang tua Mehreen juga bisa datang menemani sebab Damai baru saja pensiun. Hanya Shahreen yang belum bisa datang sebab ia masih ada tanggung jawab baik pekerjaan juga sebagai istri prajurit.
Mehreen sudah berada di rumah dan kemarin mereka baru saja membuat acara aqiqah untuk Syaluna, bayi cantik yang memiliki perpaduan kedua orang tuanya.
"Ini, anak kalian masih bayi saja cantiknya sudah begini. Abi nggak kebayang kalau dia besar nanti," komentar Damai yang tengah menggendong cucunya sembari duduk di ruang tamu.
"Orang tuanya bibit unggul sih," sahut Khayrah yang duduk di sebelahnya. "Apalagi Abinya, ya, Dek?" kata Khayrah pada si kecil yang tengah tertidur pulas.
Damai mengangguk. "Bakalan banyak kumbang berdatangan nih."
"Tinggal digebah shuh shuh," celetuk Mehreen yang sedari tadi diam mendengarkan. Ia duduk di sudut sofa yang lain bersama Arjuna. Lalu ia menoleh pada suaminya. "Bakal jadi bapak yang protektif juga wahai Bapak Arjuna?"
Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sepertinya."
Hal itu membuat Damai tertawa. "Semakin tahun, jaman terus berubah. Metode mendidik dan mengasuh anak berubah. Selagi kalian menanamkan nilai agama yang kuat, in syaa Allah semua baik-baik saja. Hanya, jangan jadikan agama sekedar kewajiban tapi jadikan pedoman hidup sebagaimana kalian bernafas."
"Siap," sahut Mehreen dan Arjuna serempak.
"Dek, kamu beneran ngidam lihatin muka Juna?" tanya Khayrah.
"Eh, gimana, Mi?" sahut Mehreen bingung. "Lagian siapa yang cerita?"
"Itu, Dek Rahil sama Mama Frannie kalian yang cerita," jelas Khayrah sembari terkekeh. "Katanya kamu terpesona sama suamimu kayak nggak pernah lihat dan ketemu."
Mehreen mengernyit. "Masa?"
Di sampingnya, Arjuna tersenyum tipis mengingat hal itu.
Damai menatap datar putri bungsunya. "Kamu itu cuma habis melahirkan bukan kejedot tembok. Kejedot tembok juga nggak bikin orang mendadak amnesia."
Mehreen menoleh menatap suaminya. "Hmm, memang ganteng nggak ada lawan. Nggak tahu deh aku khilaf apa kok bisa gitu."
"Adek, mulutnya!" tegur Damai dan Khayrah.
"Lah, jujur. Nggak tahu deh pokoknya kemarin itu pesona Mas Juna berasa menguar gitu. Berasa ganteng pakai banget," terang Mehreen enteng lalu menatap suaminya lagi.
"Sekarang?" Masih Damai yang bertanya sebab ia gemas dengan putri bungsunya itu.
Mehreen yang masih menatap sang suami, semakin intens bahkan mencondongkan tubuhnya hingga Arjuna harus mundur sedikit karena malu dilihat kedua mertuanya. "Ganteng sih."
"Pakai sih segala?" celetuk Khayrah.
"Rasanya nggak seganteng pas aku lagi hamil kemarin. Kegantenganmu luntur, Mas?" tanya Mehreen heran. "Perasaan wajah Mas Juna masih mulus-mulus aja, nggak ada yang nonjokin. Kok kayak luntur ya?"
"Adek! Kalau saja kamu nggak habis melahirkan, Abi suruh kamu berdiri depan rumah sambil angkat satu kaki dan jewer kedua telingamu sendiri," geram Damai melihat keanehan putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
Ficción General#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...