Tidak mudah bagi Mehreen untuk bangkit apalagi jika harus sendirian di rumah tapi ia harus menerima ketetapan-Nya. Dan ya, life must go on.
"Mbak Mehreen, there's nothing wrong with you being a vegan but don't be like this. It's enough!" Arjuna bahkan tidak menyentuh sendoknya meski ia tahu mubazir makanan adalah dosa. Tetapi, cukup adalah cukup.
Tiga bulan telah berlalu sejak mereka kehilangan calon buah hati. Dan sejak Mehreen memutuskan untuk kembali bangkit, sejak itu pula menu makanan mereka hanya terdiri dari protein nabati tanpa hewani sama sekali yang jika ditanya kepada Mehreen, dalihnya adalah hidup lebih sehat.
Bagi Arjuna jika seseorang memutuskan menjadi seorang vegetarian bahkan vegan adalah hak dan pilihan hidup setiap individu dan ia akan menghormatinya, terutama jika ini berkaitan dengan istrinya kalau saja niatnya benar.
"There is nothing wrong with you, with us. Kita berdua sehat. Dokter bilang begitu. Kamu sehat. Pola hidup dan apa yang kamu konsumsi sudah cukup." Arjuna berdiri dan meninggalkan rumah.
Meninggalkan Mehreen yang tertunduk sedih di Minggu siang yang cerah. Kesedihan yang mencairkan kembali air mata yang telah mengering. Ia sadar telah mengecewakan suaminya dan memaksakan sesuatu hanya karena ketakutannya sendiri.
Arjuna memang tidak meninggikan suaranya tapi Mehreen masih bisa merasakan kekecewaan dan kekesalan suaminya.
Setengah jam berlalu dan lelaki tampan itu kembali. Wajahnya masih sama kusutnya dengan sang istri saat meninggalkan rumah tadi. Ia memasuki rumah yang sepi. Meletakkan sesuatu di meja makan yang ditinggalkan tuan rumah dalam kondisi utuh dengan makanan yang belum terjamah sama sekali. Makanan yang membuatnya menahan diri.
Arjuna pun melangkah menuju kamarnya di mana sang istri tengah menangis dalam diam. Ia duduk di samping ranjang, menariknya duduk dan memeluknya erat.
"Maaf, sudah bikin kamu kecewa, marah, kesal. Maaf," ucap Mehreen pilu.
"Aku nggak marah, cuma kecewa dan kesal. Kenapa kamu sampai mikir ada yang salah sama dirimu? Percaya takdir Allah, kan?" sahut Arjuna lembut.
Mehreen hanya mengangguk sebagai jawaban.
"No, you're not."
Mehreen memberanikan diri mendongak dan menatap suaminya tepat di kedua bola matanya. Bertanya.
"Kalau kamu percaya dan ikhlas, kamu nggak akan begini. Aku nggak larang kamu menjadi vegetarian atau vegan tapi harus dengan niat tulus. Yang kamu lakukan selama ini hanyalah pelarian dan memaksaku ikut lari juga. Aku nggak suka. Aku mau istriku yang dulu kembali," tutut Arjuna. "Dan hentikan olahraga matian-matian tanpa disesuaikan dengan kebutuhanmu. Lama-lama kamu jadi anoreksia!"
Mehreen kembali menunduk.
"Ayo, makan. Aku beli bakso tadi. Capcai sayurnya dipanasin untuk makan malam saja. Lauknya telur yang aku sudah beli juga," kata Arjuna final. Ia sudah tak sanggup makan hanya bertema sayuran selezat apapun itu.
Ia mengusap air mata istrinya dan mengajaknya kembali ke ruang makan. Ia menyuruh istrinya duduk sementara ia menuang bakso ke mangkok masing-masing.
"Makan. Kalau mau tambah nasi boleh," perintahnya tegas.
Dalam diam, Mehreen menurut dan mulai makan. Lalu, bau sedap kuah bakso panas yang masih mengepul justru membuat air matanya jatuh dengan sendirinya.
"Kalau makan nggak pakai nangis. Mau makan, makan. Mau nangis, nangis. Pilih satu!" ultimatum Arjuna. Ia terpaksa harus tegas meski aslinya tidak tega melakukannya. Hanya saja, ia juga tidak bisa membiarkan istrinya terpuruk terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Arjuna
General Fiction#20 Militer (19/02/2020) #10 Beda Usia (19/02/2020) #01 Relawan (22/02/2020) Pertemuan Arjuna dengan Mehreen di perbatasan Papua ternyata membawa buntut panjang. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu masih keluarga dengan mantan calon mertuanya. Tepatn...